Senin, 17 Oktober 2011

Kaki itu menghentak. Jlig...! Lalu, ia kembali
bersalto balik bertepatan dengan mentalnya tiang layar
perahu dan tiang-tiang penyangga atap rumbia akibat
hentakan kakinya. Dinding beratap rumbia itu pun
terpental ke atas bersama atapnya juga. Perahu jadi
terbuka, dan ternyata tak ada isinya apa-apa.
Byuuur...! Tiang, layar, dinding rumbia, atapnya,
semua terhempas jatuh ke perairan, bagai habis
diledakkan oleh suatu kekuatan yang dahsyat. Bidadari
Jalang hanya berkerut dahi ketika mengetahui perahu
tanpa isi. Tak ada manusia satu pun di sana, bahkan
bangkai manusia juga tak ada. Lalu, siapa yang
mengarahkan perahu ke tepi pantai? Siapa yang
membawa perahu mendekati Bidadari Jalang? Oh,
tentu, saja ada yang membawanya. Lalu, ke mana si
pembawa perahu itu? Apakah bersembunyi di dalam air,
di bawah perahunya itu?
"Nagadipa! Keluarlah!" bentak Bidadari Jalang.
Matanya memandang tajam tak berkedip di bagian
bawah perahu. Bisa saja sewaktu-waktu muncul
serangan dariI bawah sana.
"Nagadipa...?! seru Bidadari Jalang lagi. "Aku tahu
kau datang mencariku. Aku di sini. Keluarlah Nagadipa!"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Bidadari
Jalang.
"Aku sudah di sini sejak tadi," suara itu pelan.
Kalem.
Segera mata dan kepala Bidadari Jalang menoleh
ke belakang. Oh, ternyata pria tampan berpakaian
kuning dengan rompi terbuka telah berdiri di belakang
Bidadari Jalang. Tubuhnya berkulit bersih, walau tak
terlalu putih. Lengannya kekar, demikian pula kedua
kakinya yang kokoh. Rambutnya panjang sebatas
pundak dan mengenakan ikat kepala dari kain
berbenang emas. Kumisnya tipis, menambah wajah itu
semakin tampan, Dulu, Bidadari Jalang melihat pria itu
belum berkumis, Sekarang sudah berkumis, dan
semakin mempesona dipandang mata.
"Oh, sial...!" keluh Bidadari Jalang dalam hatinya.
Karena di dalam hatinya ia merasakan desiran yang
begitu indah, menuntut jiwanya untuk dipeluk pria itu.
Bidadari Jalang mencoba mengusir perasaan indah yang
berbunga-bunga itu. Karena ia sadar, Racun Birain akan
segera bekerja kembali merongrong kekuatannya
"Rupanya kau mau pamer ilmu dulu padaku, ya
Nagadipa?" kata Bidadari Jalang dengan sinis. Ia berkata
begitu, karena ia tahu, tanpa memiliki ilmu tinggi,
Nagadipa tidak mungkin tahu-tahu muncul di
belakangnya. Itu berarti Nagadipa telah mampu
bergerak cepat tanpa menimbulkan suara atau gerakan
yang terlihat, sehingga tahu-tahu sudah berada di
belakang Bidadari Jalang.
Perempuan itu manggut-manggut sambil
memperhatikan Nagadipa dari kepala sampai kaki. Ia
melangkah pelan, bagai sedang memperhatikan sebuah
benda yang sangat dikaguminya. Nagadipa diam saja.
Bahkan memamerkan senyumannya. Oh, hati Bidadari
Jalang semakin dicekam keindahan melihat senyum itu.
Ia buru-buru mengalihkan pandangan dengan gusar.
"Mengapa kau tidak menyerangku, Nagadipa?"
ketusnya.
"Aku masih ingin menikmati kecantikanmu, Bidadari
Jalang."
"Hmm...," Bidadari Jalang mencibir, menutupi rasa
bangganya mendengar ucapan itu. Katanya lagi.
"Jangan basa-basi, Nagadipa. Kau datang untuk
menuntut balas atas kematian gurumu beberapa tahun
yang lalu, bukan?"
"Benar."
"Nah, sekarang lakukanlah pembalasan itu. Aku
sudah siap."
Senyum si tampan itu semakin mekar. Oh, begitu
indahnya. Bidadari Jalang buru-buru buang pandang.
Wajahnya tegang, namun hatinya melayang. Ia hanya
melirik sedikit ketika pria itu melangkah mendekati
bagian pantai yang basah. Nagadipa memandang ke
arah cakrawala sambil berkata, "Bodoh sekali kalau aku
membunuhmu sebelum puas aku mengagumi
kecantikanmu, Bidadari Jalang. Wajah cantik dan
bentuk tubuh yang menggairahkan seperti yang kau
miliki itu, tidak pernah kutemukan di Pulau Bangkai.
Bahkan mungkin di seluruh pelosok tanah Jawa hanya
kaulah yang memiliki wajah dan tubuh seperti itu. Jadi,
aku terpaksa berpikir, haruskah aku membunuhmu
demi membalas dendam kematian guruku, atau
membiarkan kau hidup di dalam pelukanku?"
"Setan buduk! Tak perlu kau bicara begitu,
Nagadipa!" geram Bidadari Jalang, sebab kalimat itu
semakin mengguncangkan hatinya, semakin
menghadirkan bunga-bunga indah yang mulai mengusik
birahinya. Bidadari Jalang kian cemas dengan dirinya
sendiri.
Tetapi, kecemasan dan kegusarannya diketahui
oleh Nagadipa, sehingga lelaki tampan itu semakin
mendayu-dayukan rayuannya.
"Kalau aku berniat membunuhmu, itu mudah saja.
Tapi menaklukkan hatimu, merebut perhatianmu,
menggapai kemesraanmu, itu bukan hal mudah. Lebih
sulit ketimbang harus meruntuhkan sebuah gunung
karang...."
"Tutup mulutmu!" bentak perempuan itu dengan
mata mendelik.
"Kalau aku menutup mulutku, mana bisa kau
menikmati kehangatan bibirku ini, Bidadari Jalang?"
Perempuan itu menggeram jengkel. Kedua
tangannya menggenggam kuat, menahan sesuatu yang
ingin berontak dari ujung birahinya. Nagadipa berpaling
memandang, matanya ditatapkan ke mata Bidadari
Jalang dengan penuh kelembutan. Senyumnya mekar
tipis, menawan sekali. Dan ia tetap bersikap kalem,
sehingga Bidadari Jalang semakin penasaran hatinya.
"Inilah repotnya mempunyai musuh secantik kamu,
Bidadari. Hasrat membunuhku hilang. Yang timbul
hanyalah hasrat ingin memeluk kamu dan menciumi
wajahmu dengan penuh kelembutan."
"Bukan saatnya untuk bermain kemesraan,
Jahanam!" sambil Bidadari Jalang menggegat giginya.
"Kemesraan sebentuk perasaan yang tidak
mengenal tempat dan waktu. Kemesraan berhak
muncul kapan saja dan di mana saja."
Mata Bidadari Jalang bertambah tajam menatap.
Nagadipa jadi punya pujian lain untuk perempuan itu.
"Oh, jangan kau memandangku begitu, Bidadari
Jalang. Matamu semakin membangkitkan nafsuku.
Karena jujur saja kukatakan padamu, bahwa semakin
tambah waktu semakin matang kecantikanmu, semakin
besar daya pikatmu. Tak satu pun lelaki yang sanggup
menghindari daya pikatmu, termasuk aku. Luluh lentak
hatiku menerima tatapan matamu yang begitu
menggoda hati..."
Bidadari Jalang kian terbang jiwanya, ia menahan
gejolak birahi sampai napasnya terengah-engah. Ia
menahannya kuat-kuat agar tidak terpikat oleh rayuan
dan pujian itu. Dadanya yang montok naik-turun karena
napasnya tertahan berat.
"Oh. Bidadari... jangan bernapas seperti itu. Aku...
aku... aku semakin luluh di hadapanmu," suara itu
semakin lemah, wajah tampan itu semakin menunduk.
Bidadari Jalang kian gusar hatinya.
Dan tiba-tiba ia menyentakkan tangan kanannya ke
depan dalam keadaan telapak tangan terbuka, ibu jari
terlipat. Wuug...! Ada tenaga yang terpancar keluar
tanpa sinar. Seketika itu pula tangan kiri Nagadipa
membuka telapaknya dan melakukan gerakan bagai
menepis sesuatu dari kiri ke kanan. Tubuhnya miring ke
kiri. Duubb...! Wuuug...!
Kraaak...!
Gundukan batu karang yang berjarak lima belas
tombak dari tempat mereka berdiri menjadi retak
bagian tengahnya. Bagian ujungnya pecah berserakan
di atas. Rupanya tenaga dalam kiriman Bidadari Jalang
itu dihadang oleh tenaga dalam Nagadipa, dan lelaki itu
berhasil membelokkan pukulan jarak jauh tersebut ke
arah gundukan batu karang. Akibatnya batu karang
itulah yang menjadi sasaran kedua kekuatan yang
beradu itu.
Wajah Nagadipa terangkat. Kalem. Senyumnya
mengembang. Bidadari Jalang mendengus sinis. Ia
melangkah ke samping pelan-pelan, menunggu
kesempatan baik untuk menyerang. Sementara itu,
Nagadipa diam saja. Hanya memandanginya dengan
sorot pandangan matanya yang lembut.
la berkata, "Tegakah kau membunuh lelaki yang
sedang kasmaran padamu, Bidadari Jalang?"
"Diam!" bentaknya. Nagadipa bahkan tertawa dalam
gumam.
"Kudengar kau terkena Racun Birahi dari Tibet, ya?
Apa betul? Apakah karena itu kau menjadi takut dengan
rayuanku?"
"Tapi mengapa wajahmu merah jambu? Kau
menahan malu atau menahan gejolak nafsu, Bidadari
Jalang?"
"Persetan dengan penilaianmu. Hiaaat...!"
Bidadari Jalang menggerakkan kepalanya,
mengibaskan rambutnya yang panjang itu. Rambut
berputar bagai kipas, menimbulkan hawa panas yang
menyebar, menghantam tubuh Nagadipa. Wuusss...!
Nagadipa menahan dengan kedua tangan
disilangkan di depan wajahnya. Kakinya yang seketika
itu membentuk kuda-kuda, ternyata mampu dirobohkan
oleh hempasan tenaga dalam Bidadari Jalang yang
disalurkan melalui kibasan rambutnya itu. Nagadipa
terjengkang ke belakang dan jatuh terduduk dalam
jarak tiga langkah dari tempatnya. Ia buru-buru
berguling ke belakang dan bangkit dengan segera dalam
posisi siap menerima serangan lagi.
Bidadari Jalang melentingkan tubuh dan bersalto
beberapa kali di udara. Terdengar bunyi gemuruh dari
jubahnya yang mengeluarkan angin bertenaga dalam.
Kaki Bidadari Jalang tidak menjejak tubuh Nagadipa,
melainkan sengaja mendarat di depan Nagadipa. Lelaki
itu tersentak dan tubuhnya sedikit oleng karena
hempasan tenaga dalam yang disalurkan melalui jubah
itu.
Pada saat tubuh Nagadipa oleng ke samping, kaki
bidadari Jalang segera menendangnya dengan
tendangan miring.
"Hiattt...!"
Plak...! Nagadipa menangkis dengan satu tangan
dihentakkan ke samping. Kaki Bidadari Jalang bagai
dihantam palu godam. Mata kaki yang terkena lengan
tangkisan Nagadipa itu menjadi sedikit memar
membiru. Rupanya tangkisan lengan itu dialiri tenaga
dalam yang cukup besar, sehingga andai bukan kakinya
Bidadari Jalang, maka kaki itu akan patah seketika.
"Lumayan juga tenaga dalammu, Nagadipa," kata
Bidadari Jalang. "Pasti kau telah berhasil mempelajari
kitab peninggalan gurumu itu!"
"Tapi di dalam kitab itu tidak ada pelajaran
membunuh perempuan cantik yang dikagumi. Jadi...."
"Hiaaat...!" segera Bidadari Jalang menyerang
kembali sebelum lelaki itu selesai menuturkan
rayuannya, Kali ini Bidadari Jalang menghantamkan
tangannya dalam posisi terbuka telapaknya dan berlipat
ibu jarinya. Pukulan itu terarah ke rahang Nagadipa.
Namun sebelum pukulan sampai, Nagadipa sudah lebih
dulu menyambar kaki Bidadari Jalang.
Prasss...!
Bidadari Jalang jatuh terpelanting, menandakan
kekuatannya semakin berkurang sejak hatinya berdesirdesir
mendengar rayuan Nagadipa.
Dalam posisi jatuh terpelanting itu, Bidadari Jalang
segera menjejakkan kakinya ke atas, dan pada saat itu
Nagadipa bermaksud menerkam, memeluk tubuh cantik
yang menggiurkan itu. Akibatnya, dada Nagadipa
terkena tendangan kaki Bidadari Jalang. Ia tersentak
sambil bersuara.
"Huugh...!"
Tubuh Nagadipa terpental ke belakang dengan satu
lompatan ringan. Padahal jika bukan Nagadipa, dada
itu bisa jebol terkena tendangan bertenaga dalam dari
kaki Bidadari Jalang. Melihat lawannya hanya terpental
dalam satu lompatan ringan, Bidadari Jalang segera
berdiri dan menyembunyikan keheranan di dalam
hatinya.
"Hebat juga dia. Masih bisa tenang dan tersenyum."
Nagadipa memang berdiri tegak dan tersenyum.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut karena ada sesuatu yang
mengalir di sudut bibirnya. Ia buru-buru mengusap
cairan yang mengalir itu, dan memandangnya dengan
mata setengah terperanjat. Oh, ternyata darah kental.
Nagadipa mulai terpancing kemarahannya melihat
tubuhnya bisa dilukai. Karena di Pulau Bangkai, tak ada
orang yang bisa melukai tubuhnya. Apalagi yang
memukulnya hingga mengakibatkan darah kental keluar
dari mulut, disana tidak ada yang bisa melakukan.
Melihat kening Nagadipa berkerut, Bidadari Jalang
tersenyum girang, walau bernada tetap sinis. Ia berdiri
dengan sigap, seakan telah siap menerima serangan
balasan dari Nagadipa.
Dugaannya memang benar. Nagadipa menjadi gusar
melihat tubuh bagian dalamnya berhasil dilukai
Bidadari Jalang. Maka, ia pun segera membentangkan
kedua tangannya ke kanan-kiri. Perlahan-lahan
disatukan kedua telapak tangan itu. Kakinya sedikit
merendah, dan kesatuan telapak tangan itu disodokkan
ke depan, ke arah Bidadari Jalang.
Seberkas sinar perak melayang cepat dari ujung
tangan Nagadipa. Zlaaap...! Arah sinar perak itu ke
dada Bidadari Jalang. Tetapi dengan cekatan Bidadari
Jalang mengambil jubahnya dan merapatkan ke depan
tubuhnya. Bagian dada itu bagai ditutup oleh tameng
kain jubah ungu.
Traap...! Traas...! Traas...!
Sinar perak itu memercikkan api ketika membentur
jubah ungu. Bagaikan sinar las yang menghantam
lempengan baja. Bidadari Jalang hanya tersenyum.
Nagadipa segera menarik kedua tangannya yang saling
katup itu. Kini tangan itu kembali dihentakkan
keduanya dalam keadaan telapaknya terbuka ke depan.
"Mata Iblis!" teriak Nagadipa. "Hiaaat...!"
Wuung...! Blaamm...!
Bola api melesat keluar dari kedua telapak tangan
Nagadipa. Bola api mula-mula kecil. Namun begitu
mendekati jubah ungu yang dipakai perisai oleh
Bidadari Jalang itu, makin tama menjadi semakin
besar. Dan menghantam kuat jubah ungu tersebut.
Kekuatan bola api itu cukup besar, seperti sebongkah
potongan puncak gunung yang dilemparkan ke arah
Bidadari Jalang. Besar sekali kekuatan yang ada,
sampai akhirnya tubuh Bidadari Jalang terlempar ke
belakang dan terkapar di tepian pantai, mulut, hidung,
dan telinganya mengeluarkan darah.
Melihat keadaan Bidadari Jalang lemah dan
mengalami kesulitan untuk bangkit, Nagadipa segera
menghunus pedangnya yang sejak tadi ada di samping
kanan. Pedang pendek itu segera dibawa mendekati
Bidadari Jalang sambil ia berteriak.
"Sekaranglah saatku membalaskan kematian Guru,
Hiaaat...!"
*
* *
7
NAGADIPA sangat kaget pada saat ia mau
menebaskan pedangnya ke leher Bidadari Jalang, tibatiba
tubuhnya terpental jauh sepuluh langkah ke
belakang. Menurutnya, Bidadari Jalang masih
mempunyai kekuatan pada matanya yang bisa
memancarkan tenaga begitu hebatnya, hingga
membuat tubuh kekarnya terpental. Padahal waktu itu
keadaan Bidadari Jalang mulai kritis.
Sementara itu, Bidadari Jalang memendam rasa
heran melihat lawannya tersentak ke belakang, bagai
mendapat dorongan yang amat kuat. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Bidadari Jalang untuk mencoba
bangkit dan berdiri dengan kekokohan kuda-kudanya.
Terasa nyeri sekujur tubuh Bidadari Jalang, namun ia
masih sanggup bertahan. Dan bilamana perlu ia masih
sanggup menjauh meninggalkan pertarungan itu.
"Jalang," panggil Nagadipa dengan menggeram.
"Tak ada waktu bagi kita untuk menunda urusan
dendam ini! Biarpun sudah malam, harus tetap kita
tentukan siapa yang mati di antara kita berdua ini!"
"Majulah kalau kau masih penasaran, Nagadipa! Aku
sudah siap menyambut jurus-jurusmu!" Bidadari Jalang
tak mau kalah sesumbar.
Sedikit agak jauh dari pertarungan mereka, si Gila
Tuak dan Suto duduk di atas tebing karang
berpayungkan petang dan rembulan. Suto habis diurut
bagian punggung dan dadanya. Rasa mual dan
puyengnya mulai berkurang. Dan satu hal yang tak
terpikirkan olah bocah tanpa pusar itu, bahwa sampai
saat itu ia tidak pernah merasakan lapar sedikit pun. Ia
tidak tahu, bahwa, si Gila Tuak telah menyalurkan
hawa dingin yang berguna untuk menutup rasa lapar
dan haus dalam diri Suto, yaitu saat ia mengurut bocah
itu tadi. Itulah sebabnya, Suto tidak menuntut
makanan, hanya menuntut pulang.
"Mengapa kita masih di sini, Kek? Mengapa kita
tidak pulang? Bukankah petang mulai tiba?"
"Menurutmu, kau ingin pulang ke mana? Ke rumah
mu?"
Suto menggeleng. Dalam ingatan bocah itu
terbayang kekejian yang dilakukan Kombang Hitam dan
anak buahnya, ia juga ingat saat ayahnya roboh
berlumuran darah dan sudah tentu tak bernyawa lagi.
Ia juga terbayang melihat kepulan api dan asap yang
membakar rumahnya. Ia tahu, bahwa dari keluarganya
tinggal dia sendiri yang hidup dan selamat dari kekejian
Kombang Hitam.
Karenanya, Suto menggeleng ketika mendapat
pertanyaan tadi. Kemudian ia berkata dengan nada
suara memelas.
"Aku harus pulang ke mana, Kek? Aku tidak tahu."
"Pulang ke rumahku saja, ya? Kau akan kuangkat
menjadi muridku. Semua ilmu silatku akan kuturunkan
kepadamu, Suto."
"Nanti aku jadi pendekar, ya Kek?"
"O, iya! Kamu akan menjadi pendekar pembela
kebenaran."
"Aku juga bisa terbang seperti Kakek dan Bibi
berjubah ungu itu, ya?"
"Bisa. Kamu akan bisa seperti itu."
"Wah, ndak mau aku," Suto merengut. "Lama-lama
aku bisa sinting lagi!"
Gila Tuak tertawa terkekeh-kekeh. Kepala Suto diusap-
usapnya. Suto segera berkata, "Kalau aku jadi
pendekar, nanti terbang cepat seperti tadi, aku bisa
muntah-muntah lagi, Kek. Aku tidak mau jadi pendekar
bergelar Pendekar Cepat Muntah."
Kakek itu semakin terkekeh geli dan berkata,
"Kalau begitu kamu jadi pendekar sinting saja. Namamu
Suto Sinting."
Sekarang Suto yang tertawa dengan menutup
mulut. Malu, Gila Tuak memeluk anak itu di sela
tawanya sendiri. Beberapa saat mereka diam. Hanyut
oleh suara deburan ombak yang menghantam kaki
tebing karang itu. Mata mereka tertuju pada
pertarungan Bidadari Jalang dengan Nagadipa.
Melihat Bidadari Jalang terkena pukulan Nagadipa,
Suto berkata, "Kasihan Bibi itu, Kek. Dia terkena
pukulan."
"Itu salahnya sendiri. Karena dia tidak mau waspada
dan tidak melatih gerakan lincah."
"Kalau aku berlatih gerakan lincah, aku bisa
menghindari pukulan seperti itu, ya Kek?"
"O, iya! Malah kamu bisa menyerang."
Anak itu tersenyum bangga membayangkan
kehebatannya sendiri. Ia semakin tertarik
memperhatikan pertarungan tersebut. Lama-lama Suto
berkata, "Kasihan Bibi itu, ya Kek? Dia menolongku dari
kejahatan orang bertampang seram itu, tapi sekarang
dia menemui musuhnya sendiri. Aku ingin mengucapkan
terima kasih atas pertolongannya. Tapi belum bisa
kusampaikan karena Bibi itu sibuk."
"Tahu berterima kasih itu hal yang baik sekali,
Suto. Kita hidup memang harus selalu mau berterima
kasih kepada siapa saja, terutama kepada Yang Maha
Kuasa. Apa pun pemberian-Nya kita harus berucap
syukur dan berterima kasih. Itu sangat baik."
"Tapi aku suka sama Bibi itu. Biar wanita, tapi
pandai memainkan jurus-jurus silat dan dia pemberani,
ya Kek?"
"Memang dia pemberani. Kau sebagai laki-laki juga
harus lebih berani daripada Bibi Nawang."
"Nawang itu apa namanya, Kek"
"Ya. Namanya Nawang Tresni, julukannya Bidadari
Jalang."
"Jalang itu apa, Kek?"
Si Gila Tuak terdiam. Bingung juga memberi
jawaban atas pengertian kata 'jalang' kepada anak
seusia Suto. Namun untuk melegakan hati anak itu, Gila
Tuak hanya bisa menjawab, "Jalang itu... nakal."
"Ooo... Tapi mengapa Bibi Nawang dikatakan
sebagai Bidadari? Apakah beliau memang seorang
bidadari dari kayangan?"
"Bukan. Julukan Bidadari diberikan kepadanya oleh
Eyang Guru kami, atas kecantikan Nawang yang mirip
kecantikan bidadari."
"O..., lalu, apakah dulunya Kakek dan Bibi
mempunyai guru yang sama?"
"Bisa dikatakan begitu, Suto. Sebab, guruku adalah
suami dari gurunya Nawang. Kami sering dididik secara
bersama-sama dengan mereka, bahkan sering disuruh
tarung untuk mengetahui kelemahan kami masingmasing.
Jadi, kalau sekarang Nawang bertarung
denganku, maka jelas sulit sekali untuk membedakan
mana yang menang dan mana yang kalah. Nawang juga
mempunyai ilmu yang tinggi warisan dari gurunya
sendiri."
"Hebat sekali Bibi itu, Kek! Sudah cantik, punya
ilmu tinggi!"
"Bahkan sejak dia masuk dalam golongan hitam, ia
mempelajari sisa warisan ilmu dari gurunya, yaitu ilmu
sihir. Dan ia menguasai ilmu itu. Sayang sekali keadaan
Bibi Nawang sekarang sedang sakit, sehingga mungkin
dia tidak mau menggunakan kekuatan sihirnya untuk
melawan Nagadipa itu, atau.., atau mungkin sudah
hilang akibat racun itu?" kata-kata terakhir diucapkan
pelan oleh Gila Tuak, sepertinya ia bicara pada dirinya
sendiri. Ia termenung beberapa saat sambil
memandangi pertarungan tersebut. Suto sendiri juga
membisu sambil termenung memandang kesana. Namun
tiba-tiba bocah itu tersenyum sendiri, membuat Gila
Tuak menjadi heran.
"Hei, kenapa kau tersenyum sendiri?" sambil Gila
Tuak menyenggol pundak anak itu dengan pahanya.
"Tidak ada apa-apa kok, Kek."
"Ayo Suto katakan apa yang sebenarnya. Jangan
menipu diri sendiri. Tak baik orang melakukan
kebohongan, itu sama saja ia membodohkan dirinya
sendiri. Katakanlah, kenapa kau tersenyum?"
"Mmmm... anu...," Suto malu-malu. "Bibi Nawang
itu... ternyata benar-benar cantik, ya Kek?"
"Oho ho ho...," kakek berjubah kuning itu memeluk
Suto dan menepuk-nepuk pundak anak itu. "Masih kecil
sudah bisa menilai begitu. Bagaimana kalau kau sudah besar nanti, ya?"
"Tapi... tapi saya bicara sejujurnya, Kek."
"Iya, ya, ya... aku tahu kau boleh memberi penilaian seperti itu, asal jangan berkhayal yang bukanbukan?
Kau masih terlalu muda untuk mengenal lebih dalam tentang perempuan."
Suto menjadi semakin malu. Matanya memandang ke bawah. Menunduk takut. Takut ditertawakan dan diolok-olok. Beberapa saat kemudian, Gila Tuak mengambil tongkatnya. Rupanya tongkat itu bukan sekadar tongkat. Tongkat itu merupakan tabung yang terbagi dua, yaitu tutup dan tabungnya. Tongkat itu bisa dilepas bagian atasnya, dicabut ke atas, dantampaklah rongga tabung tersebut. Kemudian dengan mendongak sedikit, Gila Tuak menenggak isi tabung yang berupa cairan berbau aneh buat Suto. Anak itu bertanya, "Apa yang Kakek minum itu?"
"Tuak," jawab si Gila Tuak. "Kau mau? Nih, cobalahbeberapa teguk. Enak kok. Bisa bikin sehat di badan kalau tak terlalu banyak."
Kemudian Suto meneguk tuak dalam tabung tongkat itu. Hanya dua teguk Suto menelan tuak itu. Ia segera menyeringai dan meringis-ringis sambil bilang, "Rasanya kok seperti ini, Kek? Getir dan kecut...!"
"He he he...," Gila Tuak tertawa melihat wajah Suto menyeringai lucu setelah minum tuak. Bahkan lidahnya dljulur-julurkan dan diusap-usap pakai telapak tangannya.
"Cuih, cuih...," Suto meludah.
"Kalau kau sudah terbiasa, maka tuak ini menjadi minuman yang lezat dan segar. Aku selalu meneguknya dalam waktu-waktu tertentu."
"Cuih...!" kembali Suto meludah. "Kek, kepalaku jadi puyeng lagi, Kek. Aku bisa jadi sinting nih!"
"Oho ho ho... itu karena tuak ini terlalu keras untuk bocah seusia kamu. Nanti kalau kau pulang ke rumahku, akan kuberi kau tuak yang tidak keras, sehingga enak diminum untukmu."
"Kek...," kata Suto setelah beberapa saat. "Kok apa yang kulihat terasa berputar, Kek? Aku melihat Bibi Nawang kok jadi berputar, Kek?"
"Memang bibimu sedang bersalto di udara, ya berputar."
"Jangan-jangan... aku nanti mabuk, Kek?"
"Tidak. Kau tidak sampai mabuk. Hanya sedikit puyeng, memang. Belum sinting. Tapi anggap saja itu perkenalanmu dengan si Gila Tuak ini," sambil Gila Tuak menepuk dadanya sendiri.
"O, jadi Kakek yang berjuluk Gila Tuak."
"Iya. Karena aku ke mana-mana membawa tuak dalam tongkatku!"
"Lalu, besok kalau aku jadi pendekar, aku harus membawa apa, ya Kek?"
"Menurutmu, kau ingin membawa apa kalau sudah jadi pendekar?"
"Hmmm... membawa... membawa singkong bakar saja."
"Singkong bakar?" Gila Tuak tertawa.
"Eh, jangan singkong bakar, ah! Nanti aku dapat julukan si Singkong Setan!"
"Pantasnya julukanmu setan singkong saja, he he he...!"
Gila Tuak tampak girang sekali mendapatkan bocah tanpa pusar itu. Ia mengajaknya bergurau terus.
Sampai suatu saat, canda mereka terhenti karena pekikan Bidadari Jalang. Mata mereka kembali terpusat pada pertarungan di sana.
Rupanya Bidadari Jalang saat ini sedang keteter oleh serangan beruntun dari Nagadipa. Kekuatannya semakin berkurang, sehingga beberapa kali Bidadari Jalang kecolongan. Ia dapat terpukul dan tersentak ke sana-sini.
"Bodoh sekali," gumam si Gila Tuak. "Padahal ia punya ilmu 'Sapta Tingal', yang bisa mengecoh musuhnya yang merubah diri menjadi tujuh kembar.
Mengapa tidak digunakan? Apakah 'Sapta Tingal' sudah ikut hilang digerogoti Racun Birahi?"
Suto merasa diajak bicara, sehingga ia berkata, "Birahi itu apa toh, Kek?"
"Belum waktunya kau mengetahui," jawab si Gila Tuak dengan mata tetap tertuju pada pertarungan.
Suto bertanya lagi, "Kalau aku nanti bisa menjadi pendekar, apakah aku boleh mengetahui birahi, Kek?"
"Boleh. Tapi jangan banyak-banyak."
"Mengapa tidak boleh banyak-banyak?"
"Karena... karena bisa menyesatkan jiwamu, bisa merapuhkan dirimu, jika terlalu banyak birahi. Seperti bibimu itu, akhirnya jadi rapuh dan sesat."
"Lho, kalau begitu Bibi Nawang itu orang sesat, ya Kek? Apakah Bibi Nawang itu termasuk orang jahat?"
tanya Suto dengan rasa ingin tahu terhadap segalagalanya begitu besar.
"Ada yang mengatakan, Bibi Nawang itu orang jahat, karena ia ada di pihak golongan hitam. Tapi ada pula yang bilang, dia itu orang baik. Tergantung dari sudut mana kita memandang."
"Kenapa begitu?"
"Karena orang jahat bisa saja berbuat baik, dan
orang baik bisa saja berbuat jahat. Karena di dalam
jiwa kita bermukim dua sifat manusia, yaitu baik danjahat.
Sewaktu-waktu salah satu pasti digunakan oleh
diri kita baik sadar maupun tak sadar."
Suto diam termenung. Apakah dia merenungi kata
kata Gila Tuak? Entahlah. Yang jelas matanya kembali
memandang pertarungan yang bagai disaksikan oleh
sang purnama di angkasa. Karena kemunculan sang
purnama itulah maka pantai itu menjadi terang dan
setiap gerakan bisa dilihat dari tempat Suto dan si Gila
Tuak duduk dengan santai.
Gila Tuak mengibaskan tangannya. Hanya jari
telunjuknya yang dikibaskan menyentil pelan. Pada
saat itu, tubuh Nagadipa tersentak mundur. Padahal ia
punya kesempatan melumpuhkan Bidadari Jalang lewat
belakang. Tubuh yang terpental mundur itu membentur
batu karang yang tadi retak akibat dijadikan sasaran
pukulan tenaga dalam mereka berdua.
Keadaan seperti itu, dimanfaatkan oleh Bidadari
Jalang untuk mengibaskan rambutnya. Dan sekali ini
Nagadipa terpelanting jatuh dalam jarak lima langkah
dari tempatnya.
Diam-diam Suto memperhatikan gerakan jari Gila
Tuak yang mengibas dalam sentilan pelan tadi. Ia
menaruh curiga, namun tidak tahu apa alasannya
mencurigai jarinya Gila Tuak. Yang jelas, kakek
berambut putih rata itu tetap memperhatikan ke arah
pertarungan. Bahkan sekarang Suto mendengar kakek
itu mendenguskan napas satu kali lewat hidungnya.
Suto buru-buru memandang ke arah pertarungan.
Kala itu Nagadipa tersentak ke belakang lagi dengan
tubuh melengkung, kepala sedikit tertunduk. Dari
mulutnya keluar darah segar. Bidadari Jalang baru saja
bangkit akibat pukulan jarak jauhnya Nagadipa yang
mengempaskan tubuhnya ke pasir pantai. Melihat hal
itu, Bidadari Jalang merasa heran. Mengapa Nagadipa
memuntahkan darah?
Keheranan itu disembunyikan. Bidadari Jalang
segera mengangkat tangannya ke atas, kedua kakinya
tegak. Dan sekarang satu kakinya diangkat dengan
terlipat ke belakang. Tangan kanan yang terangkat
lurus ke atas itu memercikkan bunga api warna biru,
sepertinya ujung tangan itu berhasil menangkap petir
di sela terangnya purnama. Kemudian, tangan tersebut
segera dikibaskan ke depan, ke arah Nagadipa.
Dilakukannya seperti Bidadari Jalang memercikkan air
pada tubuh Nagadipa.
Dari kibasan tangan tersebut, memerciklah bunga
api ke tubuh Nagadipa. Begitu banyaknya bunga api
berwarna biru kemerah-merahan itu, sehingga
Nagadipa terguling-guling di pasir sambil memekik
keras-keras. Ia menjadi kalang kabut karena merasakan
hawa panas sedang menyerang tubuhnya. Karena ia
berguling-guling di pasir, maka yang seharusnya
pakaiannya terbakar menjadi padam.
Hampir saja tubuhnya hangus terbakar jika tidak
segera berguling-guling. Karenanya ia segera bangkit
dan berdiri dengan tegar kembali. Bidadari Jalang
sedikit kecewa atas serangannya yang terhitung gagal
itu. Namun ia masih memperlihatkan kesigapannya
dalam melawan Nagadipa.
"Jelas sudah, Nawang banyak kehabisan kekuatan
tenaga dalamnya gara-gara Racun Birahi itu," gumam
Gila Tuak. "Kalau tidak, pasti ia tidak selamban ini
dalam melawan Nagadipa. Hmmm... payah sekali dia
itu. Pasti hatinya tadi tergoda birahi begitu
memandang lawannya yang tampan. Kalau tidak
tergoda birahi, tidak mungkin ia banyak melakukan
kelengahan."
Tiba-tiba Suto berkata, "Kek, kepalaku kok masih
puyeng saja?"
"Kalau begitu, sebaiknya kita segera pulang saja.
Kamu telah mabuk akibat tuak tadi. Dengan tidur dan
beristirahat, rasa pusingmu, itu akan hilang."
"Apakah kita perlu pamit pada Bibi Nawang dulu,
Kek?"
"Hmmm... ya, ada baiknya kita pamit ke sana
dulu."
Maka, Gila Tuak segera membawa Suto melangkah
mendekati pertarungan yang tiada habisnya itu. Suto
digandengnya, dan langkah mereka tampak santai
sekali. Suto sempat bertanya, "Kenapa Kakek tidak
membantu Bibi?"
"Kalau tidak terpepet, jangan mencampuri urusan
orang lain, sebab tugas utama kita sebagai manusia
adalah mengurus dirinya sendiri. Kalau diri kita sudah
diurus dengan benar dan baik, maka sekali tempo boleh
kita mengurus orang lain, asal demi kebaikan. Sebab,
dengan ikut campur urusan orang lain, berarti kita
harus sudah siap menanggung akibat buruknya."
Mereka semakin dekat dengan Bidadari Jalang.
Langkah kaki mereka pun terhenti. Pertarungan
Bidadari Jalang juga ikut terhenti. Dengan wajah pucat
Bidadari Jalang berkata ketus kepada si Gila Tuak,
"Jangan ikut campur urusanku!"
"O, tidak. Aku hanya mau pamit saja. Aku bosan
nonton pertarunganmu yang bertele-tele. Kamu seperti
anak kemarin sore yang baru lulus mencapai jurus-jurus
dasar. Suto ngantuk, ia perlu istirahat. Jadi aku pulang
bersamanya ke padepokanku."
Suto menyahut, "Bibi, terima kasih atas
pertolongan Bibi tadi. Aku jadi selamat dari Kombang
Hitam."
Hati Bidadari Jalang tersentuh juga mendengar
ucapan itu. Namun ia terpaksa harus melompat dan
bersalto ke belakang satu kali, karena ia merasakan
ada hawa panas yang dilancarkan dari tangan Nagadipa.
Akibatnya, begitu ia menghindar, tubuh Suto menjadi
sasaran hawa panas itu.
"Awas Suto...!" teriak Bidadari Jalang.
Dengan cepat, Gila Tuak melintangkan tongkatnya
di depan Suto, dan hawa panas yang mampu
melelehkan baja dalam waktu singkat itu menjadi
berbalik arah menuju ke pengirimnya. Nagadipa kaget
mengetahui pukulannya yang dinamakan 'Gayung Iblis'
itu bisa dikembalikan oleh seseorang. Ia segera
menghindari pukulannya sendiri itu, dan pukulan
tersebut menghantam lautan. Crooos...! Suaranya
sangat keras. Air lautan bergolak bagai diguncang
gempa. Nagadipa hanya bertanya dalam hati.
"Siapa kakek tua itu? Hebat sekali dia? Bisa
menahan pukulan 'Gayung Iblis' saja sudah cukup hebat,
apalagi bisa mengembalikan?"
*
* *
8
"GILA Tuak, pergilah secepatnya, aku tak butuh
penonton!" Kata-kata Bidadari Jalang itulah yang
membuat Nagadipa terperanjat. Matanya sempat
terbelalak seketika, dan hanya sekejap. Ia jadi ingat
pesan almarhum gurunya ketika masih hidup.
"Jangan sekali-kali kamu bikin perkara dengan
tokoh tua di rimba persilatan yang bergelar si Gila
Tuak! Hindarilah dia, kapan saja kamu bertemu dengan
Gila Tuak. Orang itu bisa menjadi ganas dari orang yang
paling ganas di bumi ini! Kesaktiannya tak sebanding
denganmu. Aku saja ada di bawahnya. Karena itu, si
Gila Tuak sangat ditakuti oleh tokoh-tokoh dunia
persilatan, sehingga dia dikenal dengan julukan Gila
Tuak. Kerjanya menjagal siapa saja yang bikin perkara
dengannya...."
Nagadipa baru percaya betul dengan pesan
almarhum gurunya itu. Ia telah melihat sendiri
kehebatan Gila Tuak yang mampu menahan pukulan
'Gayung Iblis', bahkan mampu mengembalikannya juga.
Sebab itu, setelah ia mendengar nama Giia Tuak,
nyalinya jadi ciut. Dan pada waktu Bidadari Jalang
berbicara dengan Gila Tuak, diam-diam Nagadipa
segera menghindar dengan berlari cepat bagaikan kilat
menyusuri tepian pantai.
"Kakek, lihat orang itu telah lari!" seru Suto sambil
menarik-narik jubahnya Gila Tuak. Bibir berkumis putih
itu menyunggingkan senyum tipis. Tetapi wajah
Bidadari Jalang menjadi cemberut berang. Ia kecewa
atas kehadiran Gila Tuak, yang membuat lawannya
menjadi ketakutan.
"Aku tidak suka dengan caramu, Gila Tuak!"
"Apa maksudmu?" Gila Tuak berkata dengan santai,
seakan meremehkan kegeraman Bidadari Jalang.
"Kau banyak ikut campur pertarunganku tadi! Kau
pikir aku tidak tahu, kau telah melancarkan pukulan
jarak jauhmu beberapa kali ke arah Nagadipa?!"
Senyum tipis kembali mekar. "Kulakukan demi
menyelamatkan jiwamu," katanya dengan kalem.
"Aku bisa mengatasinya sendiri. Aku tidak perlu
bantuanmu!"
"Kalau kubiarkan saja dia menyerangmu, kau pasti
akan habis dibinasakan oleh Nagadipa. Aku tahu,
kekuatanmu semakin berkurang, Nawang Tresni. Kurasa
itu karena Racun Birahi yang bersarang di dalam
tubuhmu!"
Bidadari Jalang ingin membantah lagi, namun
segera ia menarik napas, karena menyadari kata-kata
itu memang benar. Kekuatannya semakin berkurang, ia
menjadi cepat lemah. Dengan pukulan-pukulan yang
tak begitu tinggi bobot tenaganya saja ia bisa dibuat
limbung. Kalau saja tadi si Gila Tuak tidak ikut campur
secara sembunyi-sembunyi, ia memang sudah habis di
tangan Nagadipa.
Menyadari hai itu, Bidadari Jalang bertambah
cemas. Sekalipun ia sembunyikan kecemasan tersebut
namun Gila Tuak tetap bisa merasakannya. Maka, Gila
Tuak pun berkata, "Sudahlah, lupakan dulu tentang
Nagadipa dan dendamnya. Kita bicara di pondokku
saja. Banyak hal yang perlu kita bicarakan tentang
bocah tanpa pusar ini, juga tentang penyakitmu itu."
Bidadari Jalang menghempaskan napas kuat-kuat.
Wajahnya masih cemberut. Tapi agaknya ia tidak
mempunyai pilihan lain. Kalau saja ia ngotot dan tetap
merebut Suto dari tangan Gila Tuak, jelas ia akan
hancur di tangan saudara seperguruannya. Seandainya
ia tidak dalam keadaan lemah, mungkin ia masih mau
melayani pertarungannya dengan Gila Tuak, walau ia
tahu lelaki itu tak bisa mati begitu saja.
"Baiklah, mari kita tinggalkan tempat ini," kata
Bidadari Jalang dengan wajah masih ketus cemberut. Ia
pun segera melangkah lebih dulu. Tiga langkah
kemudian ia berhenti, memandang Suto yang diam
saja, yang menatap aneh padanya. Sementara itu, Gila
Tuak sendiri tidak segera bergerak. Gila Tuak diam
bagaikan patung. Matanya menatap lurus kepada
Bidadari Jalang dengan kesan aneh pula. Tentu saja hal
itu membuat dahi Bidadari Jalang berkerut.
"Ayo, Suto..., kita pergi sekarang. Kamu mau
digendong aku atau digendong kakek tua itu?" kata
Bidadari Jalang kepada Suto.
Namun bocah itu diam saja. Kedua tangannya
terlipat di dada. Rambutnya yang plontos dibiarkan
tertiup angin malam pada bagian depannya. Jaraknya
berdiri mematung aneh itu ada tiga langkah dari
tempat Gila Tuak berdiri. Tepatnya di samping kanan
agak ke depan dari Gila Tuak.
"Hei, bocah tuli!" sentak Bidadari Jalang dengan
hati dongkol. "Ditanya kok diam saja? Apa kau bisu,
hah?!"
Semakin heran Bidadari Jalang melihat Suto
tersenyum. Sambil tetap berlipat tangan di dada, bocah
itu bergerak lebih menjauhi Gila Tuak. Langkahnya
kalem-kalem saja, seakan acuh tak acuh dengan Gila
Tuak maupun Bidadari Jalang.
"Gila Tuak, ayolah, bawa anak itu ke pondokmu!"
"Berangkatlah dulu," jawab si Gila Tuak dengan
suara datar.
"Tidak bisa. Kau pasti akan menipuku kalau kita
tidak berangkat bersama. Kau akan larikan anak itu ke
tempat lain."
"Berangkatlah dulu dan bawa anak itu."
Semakin datar suara Gila Tuak, semakin pelan
nadanya, semakin curiga pula hati Bidadari Jalang
dibuatnya. Mata perempuan cantik itu cukup tajam
memandang Gila Tuak yang punya pandangan lurus ke
depan. Pandangan mata kakek tua itu bagaikan penuh
beban yang tertahan. Mau tak mau Bidadari Jalang
mendekat kembali dan berkata dengan mata menyipit
ketus.
"Aku tidak butuh kelakarmu saat ini, tahu? Jangan
main-main denganku, Gila Tuak!"
Jawaban yang keluar dari mulut Gila Tuak hanya,
"Pergilah, bawa lari anak itu. Lekas."
"Hei, ada apa kau ini, hah? Kenapa kau tidak segera
bergerak untuk pergi?"
"Jangan banyak tanya. Lekas pergi bersama Suto
Lekas...!" kali ini Gila Tuak gemetar tangannya.
Terlihat oleh Bidadari Jalang tongkat yang dipegang
Gila Tuak juga ikut bergerak-gerak dalam getaran
lembut. Semakin heran dan curiga Bidadari Jalang saat
itu. Bahkan ia pun mendengar dengus napas tertahan
dari hidung Gila Tuak.
"Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Bidadari Jalang
berkesan tegang di dalam hatinya.
"Seseorang telah menahan inti ragaku."
"Apa...?!" Bidadari Jalang tersentak kaget walau tak
harus berucap kata dengan keras.
"Aku tak bisa bergerak," kembali Gila Tuak berkata
dengan suara bisik yang amat pelan.
Kepala Gila Tuak memang bisa bergerak. Ia
memandang ke kiri dan kanan. Kedua tangan itu pun
bisa bergerak bebas. Tetapi kedua kaki si Gila Tuak tak
bisa digerakkan sedikit pun. Diangkat sejengkal pun tak
bisa. Dengus-dengus napas tertahan berat itu
menandakan Gila Tuak sedang berusaha mengangkat
salah satu kakinya. Namun kakinya tetap seperti
tertancap di tanah pasir pantai. Kaki itu bagai ada yang
memegangi dari dalam tanah.
Melihat keadaan si Gila Tuak yang ternyata tidak
main-main itu, Bidadari Jalang semakin tegang dalam
keheranannya. Kemudian ia mencoba menarik tangan
Gila Tuak. Namun tubuh tua itu tidak mampu bergeser
dari tempatnya berpijak. Gila Tuak akhirnya
menghentakkan kedua tangannya dengan satu kekuatan
dalam yang cukup besar. Kekuatan dorong kedua
tangan Itu biasanya dipakai untuk menggeser pintu gua
dari batu besar, atau menumbangkan pohon yang
berukuran sedang-sedang saja. Anehnya, tubuh tua Gila
Tuak tidak mampu terdorong ke belakang. Hanya
meliuk sebentar dan kembali lagi, seperti sebongkah
karet yang tertancap kuat di salah satu dasar lantai.
"Siapa yang mengganggumu begini?" gumam
Bidadari Jalang dengan mata memandang sekeliling,
penuh kecurigaan.
"Entahlah. Aku belum menemukan dari mana asal
kekuatan gaib yang menahanku bergerak ini?"
"Coba gunakan tenaga dalammu untuk melompat
dari tempat ini."
"Sudah kucoba tadi," jawab si Gila Tuak masih
pelan sekali suaranya, "Tapi tak bisa melawan kekuatan
ini. Kepalaku malah terasa sakit akibat tenaga dalam
yang kupakai tertahan kuat-kuat."
Bidadari Jalang memunggungi Gila Tuak, matanya
memandang tajam ke arah semak pantai, ke arah
batang-batang kelapa, ke daerah gundukan karang yang
tadi retak dalam pertarungannya dengan Nagadipa, dan
ke mana saja mata itu menatap tajam. Namun ia tidak
menemukan bayangan sosok siapa pun di sana.
Tiba-tiba Bidadari Jalang menggerakkan kakinya
memutar dan menendang dada Gila Tuak dengan keras.
"Haiaai..!"
Buukk...!
"Uhhg...?!" Gila Tuak mendelik karena terkena
tendangan putar dari kaki Bidadari Jalang. Tendangan
itu biasanya bisa merubuhkan batang pohon. Namun
kali ini tak mampu membuat tubuh tua itu bergeser
dari tempatnya. Bahkan Gila Tuak sedikit meringis
merasakan sakit di dadanya akibat terkena tendangan
keras.
"Monyet Burik!" cacinya dengan dongkol. "Kenapa
kau menyerangku, hah?!"
"Maaf. Maksudku membuatmu supaya tumbang dan
bebas dari kekuatan yang menahan kakimu."
"Iya. Tapi dadaku mau jebol rasanya, Tolol!"
Bidadari Jalang menahan tawa geli jadinya. Ia jadi
iba melihat Gila Tuak jadi terengah-engah akibat
menahan tendangan tadi.
"Aih, gila! Apa-apaan sebenarnya ini?" geram
Bidadari Jalang. Ia masih sesekali memandang
berkeliling mencari sumber kekuatan yang mengganggu
Gila Tuak. Lalu tiba-tiba ia melompat pergi dalam
kecepatan tinggi, yang tak mampu dilihat oleh mata
telanjang. Angin kepergiannya membuat pasir-pasir
pantai menyebar ke mana-mana, termasuk memercik
ke wajah Gila Tuak. Tangan lelaki tua itu buru-buru
meraup wajahnya beberapa kali, membersihkan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar