Senin, 17 Oktober 2011


jenggotnya yang terkena percikan pasir, dan akhirnya
meludah beberapa kali, karena ada beberapa butir
pasir yang masuk ke mulutnya.
"Setan alas!" katanya memaki dengan suara pelan.
"Cuih, cuih...I"
Gerakan Bidadari Jalang menimbulkan suara mirip
bambu kecil diputar-putarkan dengan menggunakan
tali. Wung... wuung... wung...! Berkeliling di sekitar
semak pantai. Kadang menjauh, kadang melintas di
depan Gila Tuak dan menjauh lagi, lalu mendekat
kembali. Tiba-tiba perempuan berambut panjang itu
sudah berdiri kembali di depan Gila Tuak dengan
jubahnya melambai-lambai tertiup angin.
"Tidak ada siapa pun di sekitar sini, Gila Tuak. Aku
sudah memeriksanya," kata Bidadari Jalang.
Gila Tuak menggeram dengan napas terhempas.
Merasa jengkel sekali dengan keadaannya.
"Kunyuk rembes!" makinya dalam geram. "Siapa
yang berani mempermainkan aku begini sebenarnya?"
Lalu, kedua tangannya terangkat ke atas.
Tongkatnya melintang dan dipegangi dengan kedua
tangan. Tongkat itu bagaikan sesuatu yang keras dan
dipakai untuk mengangkat tubuhnya. Ia seperti orang
bergelayutan di salah satu dahan pohon.
"Hiighh...!" Gila Tuak mengerahkan tenaganya
untuk mengangkat kedua kaki. Hingga wajahnya
memarah, ternyata belum juga berhasil mengangkat
tubuh.
"Terus. Kerahkan terus tenagamu. Kubantu
menggempur bagian bawahnya," kata Bidadari Jalang.
Lalu, tangan kiri bergerak menyentak ke depan. Sebuah
kekuatan tenaga dalam dilancarkan melalui tangan
tersebut, hawa panas terasa menggempur kaki Gila
Tuak. Dan lelaki tua itu pun berteriak kepanasan.
"Waoow...!"
Bidadari Jalang berhenti melakukannya. Tangan
Gila Tuak turun kedua-duanya. Tetapi tongkatnya
masih tinggal di atas. Bagai tergantung pada suatu
tiang gawang. Walau tanpa penyangga, tongkat itu
tetap diam tak bergerak, sehingga menimbulkan
perasaan heran bagi orang yang belum tahu kehebatan
ilmu Gila Tuak.
"Hati-hati, Tolol! Jangan terkena mata kakiku.
Hantam saja tanahnya dan aku akan mengangkat
tubuhku!" sentak Gila Tuak semakin dongkol pada
Bidadari Jalang.
"Baik, baik... I Ayo, lakukan lagi. Angkat tubuhmu
dengan kekuatan penuh dan aku akan mendongkel
tanahnya."
Tongkat yang tetap diam melintang di atas kepala
Gila Tuak itu kembali digunakan sebagai pegangan
kedua tangannya. Lalu, begitu Gila Tuak mengerahkan
tenaga untuk mengangkat tubuhnya, Bidadari Jalang
mengerahkan tenaga jarak jauhnya untuk menghantam
tanah yang dipakai berpijak kedua kaki tua itu.
"Hiaaat...!" teriak Bidadari Jalang dengan kedua
tangan diarahkan ke depan, agak bawah, dan dari
telapak tangan itu keluarlah asap tipis yang menyembur
ke arah tanah sekitar kaki Gila Tuak. Kedua tangan Gila
Tuak sendiri gemetar saat menarik dirinya ke atas.
Tetapi usaha itu agaknya masih juga belum berhasil.
Gila Tuak bagai sebuah gunung yang sukar digeser
sedikit pun.
Mereka saling menghempas napas dengan mata
beradu pandang. Angin malam masih berhembus
mempermainkan jubah kedua tokoh sakti itu. Rembulan
di langit bagai kian terang, sehingga apa saja yang ada
di sekitar mereka dapat terlihat jelas. Termasuk wajah
Suto yang sejak tadi tersenyum-senyum sinis, juga
kelihatan jelas oleh mata Bidadari Jalang.
Terbersit pikiran licik di otak Bidadari Jalang,
"Kularikan saja si Suto itu. Ini adalah kesempatan
menculik si Suto. Dengan keadaan seperti ini, Gila Tuak
tak akan mampu mengejarku. Aku bebas membawa lari
Suto ke mana saja."
Belum sempat Bidadari Jalang melangkah
mendekati Suto, mulut Gila Tuak sudah
menghamburkan kata.
"Bawalah pergi bocah itu, Nawang. Biarkan aku di
sini mengalahkan kekuatan gaib ini sendirian. Yang
penting, selamatkan dulu bocah itu, jangan sampai ada
yang mengganggunya. Bawalah ke tempatmu, atau
kemana saja. Aku pasti bisa mencari jejak kalian
melalui tongkatku ini."
Tak ada jawaban dari Bidadari Jalang. Tetapi hati
perempuan yang rambutnya ikut meriap-riap karena
hembusan angin itu berkata-kata sendirian.
"Wah, percuma saja kalau bocah itu kularikan. Gila
Tuak bisa mencarinya menggunakan tongkatnya.
Rupanya ia telah menyedot sebagian kekuatan kecil
pada bocah itu dan menyimpannya pada tongkatnya.
Tentu saja ke mana saja aku menyembunyikan Suto,
tongkat itu bisa menunjukkan di mana raga Suto
berada. Ah, sial! Sepertinya tak ada kesempatan bagiku
untuk menculik si Suto."
"Nawang, lakukanlah apa yang kukatakan tadi.
Jangan diam saja!"
"Baiklah...!"
Setelah berkata begitu, Bidadari Jalang mendekati
Suto. Langkahnya biasa-biasa saja. Namun, tiba-tiba di
luar dugaan tubuh yang berparas cantik itu tersentak
ke belakang bagai diseruduk tiga ekor banteng. Tubuh
Bidadari Jalang terpental melayang sampai kira-kira
tujuh langkah jauhnya. Tentu,saja hal itu membuat
mata si Gila Tuak terbelalak seketika. Buru-buru ia
menatap Suto dengan mata sedikit menyipit tajam.
"Tak mungkin bocah itu mampu membuat Bidadari
Jalang terpental sebelum menyentuh tubuhnya. Edan!
Kekuatan dari mana yang dimiliki Suto itu?" pikir Gila
Tuak.
Bidadari Jalang bangkit sambil memaki-maki,
"Bocah celeng! Landak bunting kau, ya? Kenapa kau
menyerangku, hah?!"
Perempuan itu melangkah cepat dengan gusarnya.
"Kau ingin membunuhku, ya? Iya...?!"
Tangan perempuan itu bergerak cepat, menampar
wajah Suto. Tapi tiba-tiba gerakan tangan itu mampu
ditangkis cepat oleh tangan kiri Suto. Dan tiba-tiba
tangan kanan Suto menyodok ke depan dalam keadaan
pangkal telapak tangannya terbuka, menghantam ulu
hati Bidadari Jalang. Begg...!
"Uhhg...!" Bidadari Jalang terhempas mundur tiga
langkah dengan menggeloyor, nyaris membentur tubuh
Gila Tuak. Kedua tokoh sakti itu sama-sama semakin
membelalakkan mata. Suto tetap diam dengan berdiri
tegak, bagaikan seorang jagoan yang tidak kenal
mundur setapak pun. Wajahnya masih menampakkan
kesinisan. Sikapnya jelas bermusuhan. Tak ada lagi
sikap bocah dan wajah kanak-kanaknya.
"Babi Dungu!" rutuk Bidadari Jalang. "Anak itu harus
diberi pelajaran biar tidak ngelunjak."
Kemudian tangan kanan Bidadari Jalang
dihentakkan ke depan dalam keadaan kedua jari lurus
dan keras. Cepat-cepat tongkat si Gila Tuak
menghantam tangan itu. Plokk...!
"Auh...!" Bidadari Jalang memekik kesakitan.
Pergelangan tangannya menjadi sedikit memar akibat
pukulan tongkat itu. Padahal Gila Tuak menghantamkan
tongkatnya tidak begitu keras. Cukup pelan namun
cepat. Dan tentu saja tongkat itu dialiri tenaga dalam
dari tubuh Gila Tuak. Barangkali akan hancur jika
pukulan pelan tadi dihantamkan pada sebongkah batu
kali. Bidadari Jalang menatap marah pada Gila Tuak.
Pergelangan tangannya dipegangi. Ia bukan saja merasa
ngilu, tapi juga sekujur tubuh jadi semutan sesaat.
"Mengapa kau menyerangku, Tua Bangka?!"
"Pukulanmu itu akan mematikan Suto. Ingat, dia
hanya seorang bocah," kata Gila Tuak dengan suara
rendah.
"Tapi rupanya dia mempunyai ilmu yang tidak bisa
dianggap enteng! Dua kali dia nyaris membunuhku, Gila
Tuak!"
"Itu bukan kekuatannya."
Bidadari Jalang terdiam seketika. Mau membantah,
namun tak jadi. Ia segera memandang Suto yang masih
berdiri dengan kedua kaki sedikit merenggang. Seakan
ia siap menunggu serangan lagi.
Gila Tuak kembali berkata dengan suara pelan,
"Seseorang telah mengendalikan dia dari suatu tempat.
Jelas orang itu memusuhi aku, karenanya aku dibuatnya
tak bisa bergerak begini. Siapa orang yang telah
mengendalikan bocah itu sebenarnya?"
Bidadari Jalang menghempaskan napas, membuang
sebagian kemarahannya. Lalu, ia berkata dengan suara
pelan juga.
"Bagaimana kalau kupancing dengan serangan,
supaya kau bisa mengetahui, jurus-jurusnya siapa yang
dipakai oleh Suto."
"Hmmm... boleh saja. Tapi awas, jangan sampai
melukai tubuh bocah itu. Kau dan aku akan menderita
kerugian besar jika bocah itu sampai mati atau sakit
karena seranganmu."
"Kucoba untuk hati-hati!" bisik Bidadari Jalang.
Langkah perempuan cantik itu menjauhi si Gila
Tuak. Seakan ia mencari tempat untuk bertarung
dengsn Suto. Ia mengambil jarak tertentu dengan sikap
siap menyerang atau bertahan.
"Siapa kau sebenarnya, hah?" bentak Bidadari
Jalang. Suto hanya diam dan tersenyum sinis. Cukup
lama ia memandangi Bidadari Jalang dengan sorot
pandangan mata seorang lelaki dewasa yang nakal.
Bidadari Jalang menjadi gelisah dipandang nakal
begitu. Namun ia berusaha mengendalikan perasaannya
agar tidak terpancing oleh pandangan nakal Suto.
"Katakan, siapa dirimu sebenarnya?! Karena kami
tahu, kau bukan Suto!"
*
* *
9
BOCAH berumur delapan tahun itu, masih tetap
menunggu serangan dari Bidadari Jalang. Pada saat itu,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar