Senin, 17 Oktober 2011

Dan tiba-tiba kedua tangan Suto turun dengan
gemetar serta pelan-pelan. Tangan itu merapat di
depan ketiaknya. Lalu, sebelum tangan itu dihentakkan
keduanya ke depan, terdengar seruan dari Suto.
"'Guntur Colok Sukma'! Hiaaat...!"
Kedua telapak tangannya didorongkan ke depan,
dan dari telapak tangan itu memancarlah ribuan,
bahkan jutaan, jarum bernyala membara. Jarum-jarum
yang membara itu mengerombol dan meluncur ke arah
dada Gila Tuak. Dengan cepat si Gila Tuak itu membuka
telapak tangannya di depan dada. Dari telapak tangan
Gila Tuak menyemburlah dua cahaya hijau muda yang
memisah ke dua arah. Kedua bias cahaya hijau itu
membentur masing-masing gerombolan jarum-jarum
membara.
Akibatnya, jarum-jarum berwarna merah menyala
itu bagai tertahan di udara, tak bisa menembus maju.
Bahkan makin lama makin terdesak mundur. Bias
cahaya hijau itu begitu kuat menekan gumpalan cahaya
membara dari tangan Suto. Tubuh bocah itu tampak
bergetar menahan kekuatan yang maha dahsyat ingin
membalik ke dirinya.
Gila Tuak tetap tenang, walau tubuhnya mulai
berkeringat. Tangan kanannya yang memancarkan dua
bias cahaya hijau itu gemetar, dan matanya jadi
merah. Bidadari Jalang melihat hal itu dengan tegang.
Sesekali ia memandang ke langit di mana petir-petir
masih berusaha melesat ke arah Gila Tuak dan
memantul balik dengan suaranya yang menggelegar.
Ombak laut pun mulai mengamuk, bergulung-gulung di
tengah samudera menuju ke tepian.
Bidadari Jalang menjadi cemas melihat jutaan
jarum membara semakin dekat dengan telapak tangan
Suto. Itu pertanda jarum-jarum membara kian
terdesak.
"Jika sampai tenaga itu masuk kembali ke dalam
telapak tangan Suto," pikir Bidadari Jalang. "Maka
cahaya hijaunya Gila Tuak akan ikut masuk ke dalam
telapak tangan bocah itu. Dan ini suatu tindakan yang
berbahaya. Gila Tuak melancarkan Ilmu 'Pecah Raga',
yang tentunya akan membuat hancur tubuh Suto kalau
tidak segera cepat cepat ditarik kembali sinar itu.
Gawat...! Aku harus segera bertindak untuk
menyelamatkan raga Suto itu!"
Semakin tipis sisa cahaya merah membara dari
telapak tangan bocah tanpa baju itu. Semakin
mengucur peluh yang keluar dari tubuh Gila Tuak.
Maka, segera Bidadari Jalang melenting ke atas dan
bersalto beberapa kali melewati kepala Gila Tuak dan
Suto.
Wuugh... wuugh... wuugh...! Jleg...!
Bidadari Jalang menapakkan kakinya di belakang
Suto. Kemudian ia mengibaskan jubahnya ke depan dan
terpancarlah kabut dari jubah itu berwarna putih
keperakan, sepertinya kabut itu mengandung bintikbintik
serpihan mutiara yang jumlahnya berjuta-juta.
Bintik-bintik mengkilat dan kabut itu segera
membungkus tubuh Suto tepat pada saat sinar merah
dari tangan Suto melesak ke dalam telapak tangan, dan
sinar hijau dari Gila Tuak terdesak masuk dalam satu
hentakan yang cukup kuat.
"Aaakh...!"
Bukan tubuh Suto yang terpental ke belakang,
melainkan tubuh Bidadari Jalang yang seolah-olah
menjadi sasaran hentakan sinar hijaunya Gila Tuak.
Tubuh perempuan itu berguling-guling, sesekali
terpental terbang bagaikan kapas terhembus angin.
Begitu jauh ia terpental, hingga suara teriakannya
menjadi kecil.
Kabut putih berbintik-bintik berkelip itu masih
menaungi bagian belakang Suto. Anak itu bagai
terperangkap jala. Ia tak bisa bergerak ke sana-sini.
Ruang geraknya sempit sekali. Bahkan semakin lama
kabut itu semakin mutlak membungkus tubuhnya,
hingga tubuh kecil itu seperti berada dalam tabung
yang amat transparan.
"Jahanam!" teriak bocah itu. Masih terdengar jelas
kemarahan suaranya. Ia ingin menghantamkan
kekuatannya kembali ke arah Gila Tuak, namun
sepertinya semua kekuatannya teredam oleh kabut
aneh tersebut.
"Bidadari Jalang! Kau ikut campur dalam urusanku,
hah? Kuhancurkan juga tubuh jalangmu itu, Biadab!"
Suto memaki-maki sendiri. Ia hanya bisa berbalik arah,
namun tak mampu melangkah keluar dari gumpalan
kabut transparan tersebut. Kerlip-kerlip yang mirip
serpihan mutiara itu membuat suasana di sekitar Suto
menjadi terang. Suto kelabakan mencari jalan keluar.
Kesempatan itu digunakan oleh Gila Tuak yang
belum bisa bergerak pula dari tempatnya untuk
bersemadi dalam keadaan berdiri. Tongkat dipegang di
tangan kiri, sementara tangan kanannya merapat tegak
di bagian dadanya. Makin lama kaki Gila Tuak semakin
jelas mengepulkan asap. Butiran pasir yang putih itu
menjadi merah sedikit demi sedikit. Merah membara
bak serpihan logam panas.
Kemudian, si Gila Tuak berteriak keras dari
panjang. "Hiaaah...!"
Broolll...!
Tubuh Gila Tuak berhasil jebol dari tanah.
Melompat ke atas dengan ringannya, bersalto ke
belakang satu kali, dan segera mendarat di tanah
dengan tegak dan kokoh kembali. Napas Gila Tuak
terhempas lega. Ia memandang bekas tempatnya
berdiri masih tampak merah membara, sebagian ada
yang berpasir hangus. Asap masih mengepul di bekas
tempatnya berdiri.
"Jahanam, Bidadari Jalang...! Lepaskan aku dari
penjaramu ini! Hoooi... Bidadari Jalang, lepaskan kabut
ini. Singkirkan! Atau kuhancurkan tubuhmu dari sini,
Setan!"
Gila Tuak tersenyum tipis. Memandang jauh ke
sana, di mana Bidadari Jalang tampak kecil dan sedang
berusaha untuk bangkit. Gila Tuak pun segera
mendekati Suto yang bernasib sial, yaitu menjadi wakil
kehadiran Cadaspati. Mata Suto memandang tajam
pada Gila Tuak, mulutnya menggeram penuh nafsu
untuk membunuh.
"Siapa pun tak bisa lepas dari Selubung Kematian ini," kata Gila Tuak. "Selubung Kematian ini akan membuat tubuhmu menjadi kering dan mati tanpa tulang lagi. Ini jurus simpanan Bidadari Jalang yang jarang-jarang digunakan kalau tidak dalam keadaan terpepet."
"He he he...!" Cadaspati tertawa terkekeh-kekeh menggunakan mulut Suto. "Kalian tidak mungkin membiarkan raga bocah yang kupakai ini menjadi kering dan mati tanpa tulang. Cepat atau lambat, kalian pasti akan segera membebaskan aku."
Peluh menetes dari kening kakek tua itu. Namun napasnya mulai reda. Ia tetap kelihatan tenang dan berkata, "Aku sudah terbebas dari jurus 'Paku Jagat'-mu tadi. Itu berarti kau tak punya kesempatan untuk mengendalikan raga bocah itu lebih lama lama. Aku akan menyimpan kekuatan 'Inti Neraka'-mu di dalam tongkatku, dan akan kusatukan ke dalam hawa murni bocah tanpa pusar ini, sehingga kekuatan ilmu itu akan menjadi miliknya."
"Gggrrr...!" Cadaspati menggeram antara jengkel dan ketakutan. Matanya membelalak tajam, ingin melancarkan pukulan dahsyatnya, namun tidak kuasa berbuat itu.
Dari jauh, tampak Bidadari Jalang berjalan dengan oleng, seperti orang mabuk. Makin lama makin dekat, makin jelas ada darah sedikit meleleh di sudut bibirnya. Kalau saja bukan Bidadari Jalang yang menahan pukulan sinar hijaunya Gila Tuak, sudah pasti tubuh orang tersebut akan hancur seketika. Ia juga mempunyai pukulan jenis 'Pecah Raga', yang bernama 'Lebur Jiwa', namun sekarang tak bisa digunakan karena rongrongan Racun Birahi dalam tubuhnya itu.
"Bagaimana keadaanmu, Nawang?"
"Monyet kamu!" umpat Nawang Tresni dengan dongkol. "Mengapa kau gunakan ilmu "Pecah Raga"?
Apakah kau tidak menyadari bahwa ilmu itu bisa menghancur leburkan tubuh Suto?"
"Aku sadar. Dan aku pun tahu bahwa kau tidak akan tinggal diam. Kau pasti tahu bahayanya ilmu itu, namun kau mestinya juga tahu, bahwa aku tak punya pilihan lain untuk menghadapi serangan berbahaya itu. Aku yakin, kau akan segera bertindak menyelamatkan tubuh bocah itu."
"Benar-benar tua rongsok kamu ini!" omel Bidadari Jalang. ''Kau memancingku untuk menjadi umpan, ya?"
"Maafkan aku. Lupakan soal itu. Sekarang, bukalah Selubung Kematianmu itu. Akan kucungkil ilmu 'Inti Neraka' si murid Malaikat Tanpa Sunat itu dari raga Suto. Aku sudah bebas bergerak."
"Biadab!" geram Suto. "Nama guruku Malaikat Tanpa Nyawa, bukan Malaikat Tanpa Sunat!"
"He he he.... Rasa-rasanya julukan gurumu memang harus sedikit dirubah begitu. Karena sebentar lagi kau tidak akan mempunyai ilmu andalan dari gurumu itu!"
"Dan itu artinya ilmumu disunat," sambung Bidadari Jalang dengan menahan geli. "Jadi, memang pantas kau berjuluk murid terkasih Malaikat Tanpa Sunat. Hi hi hi...," akhirnya Bidadari Jalang tertawa juga. Ia lupa pada kedongkolannya.
Wajah Suto yang mewakili wajah murid Malaikat Tanpa Nyawa itu kelihatan semakin gusar. Ada perasaan cemas yang lebih kuat lagi, dan kian lama membuatnya kian terengah-engah.
"Nawang, lekas buka Selubung Kematian itu sebelum membahayakan raga Suto. Aku akan bersiap mencungkil ilmu itu untuk Suto kelak!"
"Baiklah. Bersiaplah, Gila Tuak. Begitu kubuka Selubung Kematian, cepat cungkil ilmu itu dari raga Suto."
"Tunggu dulu," sergah Suto dengan suara mirip Cadaspati. "Aku mempunyai suatu gagasan yang baik."
"Hmmm...!" Bidadari Jalang hanya mencibir sinis.
"Aku akan mengabdi kepada kalian selamanya, asal kalian membebaskan aku dari Selubung Kematian ini.
Aku rela jadi abdi kalian, dan menurut dengan perintah kalian."
"Hmm...," Gila Tuak juga mencibir. Lalu katanya lagi. "Mana ada seekor kuda menuntut pakaian, mana ada hati durjana mengenal perdamaian?! Tipu muslihatmu sudah tak laku, Cadaspati. Sekali jahat, tak mampu lagi orang terjerat. Janjimu itu ibarat asap kemenyan, yang menyebarkan bau wewangian tanpa sesajian. Aku dan adik seperguruanku ini tidak punya pilihan lain."
"Aku bicara dengan sungguh-sungguh. Aku mengakui keunggulan ilmu kalian," bujuk Cadaspati.
"Terima kasih atas pengakuanmu," kata Gila Tuak.
"Sayang pengakuan itu terlambat datangnya, karena aku sudah punya keputusan yang tak bisa diganggu gugat lagi."
Gila Tuak memandang Bidadari Jalang. Waktu itu, Bidadari Jalang habis menyapu sisa darah yang meleleh di sudut bibirnya. Gila Tuak pun berkata, "Lakukan, Nawang...!"
"Tunggu... jangan dulu... jangan...!" Suto memekik keras-keras. Itu pertanda Cadaspati sangat ketakutan.
Si Gila Tuak segera membuka penutup tongkatnya, ia menenggak habis sisa tuak yang ada di dalam tongkat itu. Ia tidak menelannya, namun menampungnya di dalam mulut, hingga kedua pipinya melembung. Lalu, ia memberi isyarat kepada Bidadari Jalang dengan menganggukkan kepala. Maka, Bidadari Jalang pun mengibaskan jubahnya ke depan, dan kabut berbintikbintik berkelip itu pun terhisap masuk ke dalam jubah ungunya.
Bertepatan dengan itu, Gila Tuak menyemburkan tuak yang ada di dalam mulutnya ke arah Suto.
Brusss...!
"Haaagh...!" kepala Suto terdongak, tubuh pun tegak. Keras seluruh uratnya. Menyeringai wajah bocah itu. Dari pertengahan kedua matanya, tepat di bawah dahi, keluarlah cahaya berwarna kekuning-kuningan agak putih. Cahaya itu melesat terbang, dan dengan hentakkan kaki pelan, tubuh Gila Tuak pun melesat ke atas. Bersalto di udara sambil menggerakkan tongkat yang terbuka tutupnya itu.
Tiba-tiba cahaya kuning yang tiga kali lebih besar dari kunang-kunang itu tersedot ke dalam tabung tongkat. Cahaya itu mulanya ingin berusaha lolos pergi, tetapi daya hisap dari mulut tabung tongkat begitu kuat. Maka, cahaya kuning tipis itu tersedot masuk, dan Gila Tuak segera menutupnya. Treep...!
Kekuatan ilmu 'Inti Neraka' yang sukar didapat itu terperangkap masuk di dalam tabung tongkat. Kini keadaan Suto kembali normal, menjadi dirinya, sebagai bocah berusia delapan tahun yang tidak memiliki pusar.
Dulu, ketika ia lahir, ia memang mempunyai tali pusar.
Namun setelah tali pusar itu diputus, makin lama lubang itu menciut. Makin besar makin tertutup kulit dari daging tubuhnya. Hingga dalam usia delapantahun, perut bocah itu rata. Tidak mempunyai lubang tali pusar.
"Apakah kau akan mencari tempat persembunyian Cadaspati?" tanya Bidadari Jalang. Si Gila Tuak menjawab, "Nanti saja. Yang penting kita harus menyelamatkan anak ini dulu ke tempat yang aman."
Suto segera bertanya, "Bibi, apakah aku tadi habis tertidur?" tanyanya kepada Bidadari Jalang. Perempuan itu hanya mengangguk dengan senyum ceria.
"Ya, kau lelah dan tidur cukup lama."
Gila Tuak berkata kepada Suto, sambil tersenyum-senyum dan mengusap-usap kepala Suto yang ditumbuhi rambut hitam yang cukup lebat.
"Sekarang sudah waktunya kau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang pendekar tanpa tanding, Suto."
"Pendekar tanpa tanding?" Suto berkerut dahi.
"Jangan tanpa tanding, ah! Nanti aku tidak punya lawan. Lantas, untuk apa aku jadi pendekar kalau tidak punya tandingannya?"
Giia Tuak dan Bidadari Jalang terkekeh geli mendengar kebodohan yang polos dari anak itu. Maka, Bidadari Jalang pun berkata, "Bagaimana kalau kau menjadi pendekar cinta saja?"
"Husy! Jangan bicara seperti itu pada anak kecil, Nawang!" sentak Gila Tuak. Tetapi pada saat itu ternyata Suto menyahut, "Aku mau. Aku mau jadi pendekar cinta, Bi. Aku mau...!"
"Hei, kenapa kau mau?!" sentak Gila Tuak lagi.
"Biar kekasihku banyak, hi hi hi...!" Suto tertawa cekikikan dengan malu. Bidadari Jalang pun tertawa geli, sedangkan Gila Tuak bersungut-sungut dalam gerutunya,
"Dasar bocah sinting!"
Gila Tuak dan Bidadari Jalang, dua tokoh sakti di rimba persilatan yang namanya cukup menggetarkan jiwa setiap orang itu kini siap mengembleng Suto.
Apakah yang akan terjadi kelak pada bocah itu?

SELESAI

Ikuti kisah petualangan Suto Sinting selanjutnya!!!!!
Serial Pendekar Mabuk
Dalam episode:
PUSAKA TUAK SETAN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar