Senin, 17 Oktober 2011


Kombang Hitam segera berseru, "Ooo... rupanya
kau yang menggangguku sejak tadi. Turunlah! Kita
selesaikan apa kemauanmu!"
"Dengan senang hati, Kombang Hitam. Hi hi hi...!"
Kombang Hitam mundur dua langkah ketika
perempuan berjubah ungu itu melompat turun dari atas
pohon. Gerakannya memutar bagaikan baling-baling
lurus ke bawah. Jubah dan rambutnya pun
mengembang, berputar mengikuti gerakan tubuh.
Beberapa daun pohon menjadi runtuh. Rupanya
kibasan rambut dan jubahnya mempunyai kekuatan
tersendiri yang mampu meruntuhkan dedaunan, baik
daun yang tua maupun yang baru tumbuh. Akibatnya,
tubuh Kombang Hitam banyak ditimbuni dedaunan
berukuran kecil-kecil. Kombang Hitam merasa kagum,
namun juga merasa jengkel karena sibuk menghindari
dedaunan, menepis-nepis daun yang mengotori rambut
dan bagian tubuh lainnya.
Jlig...!
Kaki perempuan itu menapak di tanah dengan
mantap. Tak goyah sedikit pun. Ia tersenyum sambil
menaburkan tawa cekikikan. Namun ia dibuat
terperanjat melihat Suto telah sadar dan melompat
turun dari gendongannya. Buru-buru perempuan itu
meraih lengan Suto dan menahan agar anak itu tidak
lari pergi.
"Tetaplah di belakangku, Nak! Kulindungi kau dari
si rakus, Begal Utara itu!"
Suto menurut. Ia merasa dapat pelindung walau ia
masih belum jelas apa yang baru saja dialami. Merasa
seperti dirinya sedang terbang sekejap. Sementara itu,
dalam hati perempuan berjubah ungu berkata, "Ada
yang telah melepaskan totokanku pada Suto. Hmm...
siapa orangnya? Apakah Kombang Hitam itu yang
melepaskan totokanku dari jarak jauh? Kurasa tak
mungkin. Hmmm... baik. Kutunggu saja orangnya. Pasti
nanti akan muncul!"
Mata Kombang Hitam tidak bisa berkedip melihat
kecantikan terpapar di depannya. Kemarahannya
tertunda sejenak. Hatinya berdebar-debar indah.
Senyumnya pun menampakkan senyum otak mesum.
Tetapi, Kombang Hitam tetap waspada. Ia tahu
perempuan itu berilmu tinggi, tak harus diremehkan.
Dari gerakan turunnya tadi, Kombang Hitam sudah bisa
merasakan hembusan tenaga dari dalam gerakan
tersebut. Runtuhnya dedaunan pun bisa dijadikan
bukti, dan membuat Kombang Hitam sempat memuji
dalam hati.
"Kenapa kau terbengong saja, Kombang Hitam?"
"Kau tahu namaku, rupanya?"
"Aku lebih tahu namamu daripada rupamu. Kau
Ketua Begal Utara yang lebih banyak memperkosa
daripada mengeruk harta. Benar, bukan?" perempuan
itu tersenyum. Cantiknya bukan main.
Kombang Hitam kian berdebar-debar. Biasanya, ia
tidak bisa diam jika melihat perempuan mulus sedikit.
Tak perlu cantik asal mulus dan menggairahkan,
Kombang Hitam dan anak buahnya langsung menjadikan
perempuan itu sebagai sarana pesta cinta. Tapi
agaknya kali ini Kombang Hitam tidak boleh gegabah,
tidak berani bertindak sembarangan. Bahkan tiap
langkah nya pun diperhitungkan.
"Siapa kau sebenarnya, Perempuan Cantik?"
"Hi hi hi.... Namamu sudah cukup dikenal di rimba
persilatan. Lucu sekali kalau kau sendiri tidak
mengenaliku. Memang baru kali ini kita bertemu?"
"Tepat sekali. Baru sekarang kita bertemu. Jadi,
sebutkan siapa dirimu sebelum kemarahanku mencapai
ubun-ubun lagi."
Perempuan itu tertawa sinis, "Jangan coba-coba
mengancamku, Kombang Hitam. Riwayatmu akan
segera habis kalau tidak lekas-lekas meminta maaf
padaku."
"Mungkin harus kugunakan permintaan maaf dengan
ciuman atau pelukan mesra. He he he...!" Kemudian
kedua kaki Kombang Hitam mulai merendah sedikit.
Tangannya mengambil sikap siap menyerang. Tangan
itu bergerak pelan dengan urat-urat mengencang,
bertonjolan dari lengan sampai ke jari-jarinya.
"Aku jadi penasaran mendengar nyalimu sebesar
gunung itu, Sayang! Tapi aku yakin ilmumu hanya
sebesar upil!"
Perempuan itu tetap diam dengan kaki sedikit
merenggang tegak. Dagunya sedikit terangkat
menampakkan keangkuhannya. Matanya bergerak
mengikuti langkah kaki Kombang Hitam yang mencari
kesempatan baik untuk menyerang. Makin lama gerakan
kakinya semakin dekat dengan perempuan itu. Sampai
satu ketika ia berbalik bagai memutar tubuh, dan
dengan cepat kaki kanannya menjejak ke belakang.
"Hiaaat...!"
Tap...! Tuk...!
Kaki itu ditangkis dengan tangan kiri oleh
perempuan berjubah ungu, lalu tangan kanannya
menyentil mata kaki Kombang Hitam. Seketika itu
Kombang Hitam terjungkal sambil berteriak keras.
"Waddoow...!"
Brukkk!
Tubuh Kombang Hitam berguling-guling di tanah.
Selain tubuhnya seperti mendapat serudukan tiga ekor
banteng, juga kakinya seperti dihantam dengan batang
kayu yang amat keras. Sakitnya bukan main.
Tetapi Kombang Hitam segera menarik napas untuk
mengurangi rasa sakitnya. Kalau bukan Kombang Hitam,
pasti mata kaki itu sudah pecah. Setidaknya akan
memar membiru, atau bengkak.
"Boleh juga mainanmu!" geram Kombang Hitam
masih penasaran. Ia bersiap menyerang kembali. Kali
ini tangannya mengembang lebar dengan satu kaki
terlipat ke depan, mirip seekor rajawali hendak
menerjang lawannya. Perempuan itu masih diam tak
bergerak. Namun ketika Kombang Hitam melancarkan
pukulan jarak jauhnya yang tingkat menengah, tibatiba
tubuhnya sendiri yang terpental ke belakang dan
membentur batang pohon besar. Bukkk...!
"Hegghh...!" Matanya mendelik, mulutnya
ternganga. Untung saja pedangnya tidak patah akibat
benturan kuat itu.
Kulit pohon itu terkelupas dan sedikit koyak. Itu
pertanda benturan tubuh Kombang Hitam begitu
kerasnya, hingga membuat kulit pohon koyak. Untung
saja Kombang Hitam mempunyai kekuatan yang cukup
besar, sehingga tubuhnya tidak lecet dan tulangnya
tidak ada yang patah.
"Edan! Tenaga dalamku dikembalikan begitu saja
tanpa ada gerakan sedikit pun?!" pikir Kombang Hitam
dengan terheran-heran.
Rupanya ia masih penasaran. Ia segera bangkit dan
menggeram. Kini sekujur tubuhnya mengeras, hingga
semua otot tubuhnya bagai bertonjolan lebih jelas lagi.
Tangannya mengembang dengan kedua telapak tangan
mengeraskan jemari, bagai cakar garuda yang kokoh.
Wajah bengisnya pun semakin terlihat jelas. Amat
menyeramkan bagi orang lain.
"Terimalah 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, Jahanam!
Hiaaat...!" Kedua telapak tangan dengan jari-jari yang
mengeras itu mulai mengepulkan asap. Ujung-ujung
jarinya membara bagaikan besi terpanggang api. Jelas
akan hangus jika benda apa pun yang tersentuh jemari
'Cakar Kumbang Mesra' itu.
Kombang Hitam menggerakkan tangannya dengan
cepat dan kuat. Dihantamkan dulu pada batang pohon
besar. Crak, crak, crak...!
Di balik pohon tempatnya bersembunyi, Suto
membelalakkan mata melihat pohon yang terkena
cakaran Kombang Hitam itu hangus di beberapa
tempat. Membekas hitam dan masih mengepulkan asap.
Memang di hati Suto ada perasaan ngeri, tapi hatinya
berkata, "Hebat sekali ilmunya. Tapi suatu saat aku
harus bisa menandingi ilmu seperti itu!"
Kombang Hitam menggeram, matanya tertuju pada
perempuan tersebut. Lalu katanya, "Lihat pohon itul
Tidakkah kau sayang pada tubuhmu yang mulus jika
sampai terkena 'Cakar Kumbang Mesra'-ku ini, hah?!"
Perempuan itu hanya tersenyum tipis, lalu
menjawab, "Gantilah namanya menjadi jurus 'Cakar
Bebek'. Karena pohon itu tidak mengalami perubahan
apa-apa."
Fuih...! Perempuan itu meniupkan napasnya dengan
pelan. Tapi membuat rambut Kombang Hitam
tersingkap ke belakang bagai dihembus angin kencang.
Ia segera menatap ke arah pohon yang tadi habis
dicakarnya tiga kali itu. Dan matanya menjadi
terbelalak kaget, karena bekas hitam yang
mengepulkan asap pada batang pohon itu sudah tidak
ada. Lenyap sama sekali. Tanpa bekas sedikit pun.
Keadaan pohon menjadi utuh seperti sediakala.
Terperanjat lagi Kombang Hitam begitu mengetahui
ujung-ujung jarinya yang tadi merah membara itu
sekarang dalam keadaan padam. Bahkan mengandung
bintik-bintik putih seperti busa. Setelah diperhatikan
baik-baik, ternyata busa-busa salju.
"Gila!" sentak hati Kombang Hitam. "Dia bisa
memadamkan bara panas dari ilmu 'Cakar Kumbang
Mesra' ku?! Bahkan bisa membuatnya menjadi dingin
membeku. Setan mana perempuan ini sebenarnya?"
Kombang Hitam masih membelalakkan mata dengan
rasa heran dan kagum. Ia mengusap-usapkan jemarinya
ke baju sambil memandang tajam pada perempuan
berjubah ungu itu. Hati Kombang Hitam kembali
berkata-kata.
"Kalau kulanjutkan, matilah aku! Perempuan ini
ternyata berilmu tinggi. Dia bukan tandinganku.
Pedangku pun tak akan mampu melawan!"
Mulai ciut nyali Kombang Hitam. Mulai gentar
hatinya. Dan ia pun bertanya, "Siapa dirimu
sebenarnya?!"
"Jadi, kau belum pernah berhadapan dengan
Bidadari Jalang?"
Terperanjat wajah Kombang Hitam seketika itu.
Matanya melebar tegang, dan ia menggumam jelas.
"Bidadari Jalang...?!"
"Itulah aku!" jawab perempuan berjubah ungu.
Tegas dalam senyum yang angkuh.
Wajah keras dan bengis itu menjadi lunak. Mulai
ada keraguan di wajah itu. Kombang Hitam mundur
satu langkah begitu mengetahui perempuan cantik itu
adalah Bidadari Jalang. Nama itu sangat dikenal di
rimba persilatan. Bukan hanya dikenal banyak orang,
melainkan menjadi tokoh yang disegani dan ditakuti
oleh beberapa kalangan persilatan.
"Pantas tenaga dalamnya begitu hebat, dan sentilan
jarinya seberat itu," pikir Kombang Hitam saat itu, lalu
pikirannya melayang pada kisah berdarah di Pantai
Muara Tungkai. Ia hanya mendengar kisah itu, di mana
Bidadari Jalang mengalahkan pendekar-pendekar dari
dataran Tibet yang hendak memporak-porandakan
tanah Jawa. Padahal tiga pendekar Tibet itu terkenal
sakti dan berilmu tinggi-tinggi. Jika tiga pendekar Tibet
saja bisa dikalahkan oleh Bidadari Jalang, apalagi
dirinya sendiri?
Berpikir juga Kombang Hitam ingin menghadapi
Bidadari Jalang. Dia tahu, perempuan itu dikenal pula
sebagai bidadari yang bisa kejam, bisa romantis. Dan
kalau kekejamannya tiba, tak pernah mengenal kata
ampun dan hidup. Pasti lawannya dibuat hancur tanpa
bisa dimakamkan jenazahnya.
"Kau sudah menjadi patung, Kombang Hitam?" sindir
Bidadari Jalang. Kombang Hitam segera melepaskan
diri dari renungannya.
"Aku heran padamu, Bidadari Jalang. Aku tidak
punya urusan denganmu, mengapa kamu mengusik
urusan pribadiku?"
"Bukankah kau ingin membunuh anak ini?"
"Ya. Karena dia keturunan Ronggo Wiseso. Aku
punya dendam pribadi dengan Ronggo Wiseso, dan
harus membunuh anak itu!"
"Itu berarti kau punya urusan denganku."
"Mengapa begitu, Bidadari Jalang?"
"Karena aku menghendaki anak ini tetap hidup,"
jawabnya dengan kalem. Senyum pun kembali mekar,
manis namun angkuh.
Bingung juga Ketua Begal Utara itu. Untuk merebut
Suto jelas sesuatu yang tak mungkin. Bisa-bisa
nyawanya melayang tanpa arah yang pasti. Untuk
membujuk Bidadari Jalang, agak sulit juga menurutnya.
Tapi ia tetap mencobanya dengan bujukan.
"Apakah kau ada di pihak Ronggo Wiseso, Bidadari
Jalang?"
"Aku ada di pihakku sendiri."
"Lalu, mengapa kau menghendaki anak itu tetap
hidup?"
"Itu urusanku. Apakah kau ingin merebutnya dari
tanganku?"
Kombang Hitam menarik napas. Tampak gelisah, ia
pun berkata, "Jangan sampai kita saling bermusuhan,
Bidadari Jalang. Terus terang saja, aku adalah salah
satu pengagum kehebatanmu. Tak mungkin aku
melawan orang yang kukagumi di seluruh rimba
persilatan ini. Jadi, sebaiknya dengan rendah hati, aku
meminta kepadamu agar Suto kau serahkan padaku.
Biar impas dendamku kepada keluarga Ronggo Wiseso."
"Aku keberatan," jawabnya bernada ketus.
"Kuharap kau tidak berkata demikian, Bidadari
Jalang."
"Aku tidak bisa menyerahkan anak ini kepada siapa
pun. Lupakanlah tentang anak ini. Anggap saja ia tidak
lahir dari darah keturunan Ronggo Wiseso!"
"Tidak bisa, Bidadari Jalang. Aku harus membunuh
anak itu."
"Aku melindunginya. Mau apa kau sekarang?"
tantang si cantik bermata indah itu.
Hal itu membuat Kombang Hitam menjadi semakin
lesu. Wajah bengisnya benar-benar surut bagaikan
pelita kekurangan minyak. Sinar matanya yang semula
berapi-api penuh nafsu membunuh, sekarang justru
penuh ungkapan mengiba, mohon dibelaskasihani.
Tetapi agaknya Bidadari Jalang tetap pada
pendiriannya, untuk tidak menyerahkan Suto kepada
Kombang Hitam.
"Kurasa aku tak perlu menghabiskan waktu terlalu
lama di sini," kata Bidadari Jalang.
"Tunggu sebentar," sergah Kombang Hitam ketika
Bidadari Jalang mau pergi membawa Suto. Ia buru-buru
berbalik dan memandang dengan sorot mata yang
tajam.
"Mau apa lagi kau? Haruskah aku menghancurkan
tubuhmu yang seperti badak itu?!"
"Hmmm... anu... tidak. Bukan begitu maksudku,
tapi...."
"Aku tidak punya waktu lagi."
Bidadari Jalang berkata kepada Suto yang sejak
tadi berada di balik pohon, bersembunyi. "Bocah bagus,
kemarilah. Kita pergi bersama ke rumahku. Mari,
kemarilah...."
Tiba-tiba tubuh Suto terangkat naik. Melayanglayang
di udara, lalu bergerak cepat ke suatu arah.
Bidadari Jalang terperanjat, demikian pula Kombang
Hitam. Mereka tidak menyangka sama sekali kalau Suto
mempunyai ilmu peringan tubuh yang begitu
sempurnanya, sehingga bisa melayang terbang
menjauhi Bidadari Jalang dan Kombang Hitam.
"Edan! Rupanya bocah itu punya ilmu juga?!"
gumam Kombang Hitam dengan terheran-heran.
"Hiaaat...!" Bidadari Jalang melompat dan bersalto
di udara dua kali, lalu rambutnya berkelebat mengikat
ke tubuh Suto, menjerat kuat sehingga anak itu tertarik
ke tubuhnya. Lalu, Bidadari Jalang memeluk bocah itu.
Kakinya kembali memijak tanah dalam keadaan
memeluk Suto. Sementara itu, wajah Suto sendiri
tampak terperangah dan terheran-heran dengan apa
yang terjadi saat itu.
Belum sempat Bidadari Jalang menarik napasnya
tiba-tiba tubuh Suto meluncur naik, licin bagaikan belut
dan kembali melayang di udara dalam keadaan bersalto
tiga kali putaran.
"Woaaaw...!" teriak Suto kebingungan karena
merasa terbang tak tentu arah.
Tappp...!
Tubuh bocah itu jatuh dalam pelukan lelaki tua.
Rasa heran Kombang Hitam belum habis saat melihat
tubuh Suto melayang lepas dari pelukan Bidadari
Jalang. Sekarang keheranannya kembali bertambah
begitu melihat kemunculan lelaki berambut putih
dengan jubah kuning. Mata Kombang Hitam kian
terbelalak, karena ia tahu siapa kakek tua bertongkat
kayu hitam itu.
"Si Gila Tuak..:?!" sebut Kombang Hitam tak sadar.
Kakek itu tersenyum tawar. Kombang Hitam melangkah
mundur lagi.
Buat Kombang Hitam, kemunculan si Gila Tuak
memang menggetarkan hati, sebab ia tahu siapa Gila
Tuak. Tokoh terkuat di pihak golongan putih, yang
sudah tujuh tahun tidak menampakkan diri di rimba
persilatan. Kombang Hitam pernah melihat sendiri
pertarungan Gila Tuak dan Penguasa Tanah Neraka
yang bergelar Malaikat Tanpa Nyawa. Pada waktu itu,
Malaikat Tanpa Nyawa nyaris menguasai rimba
persilatan di separo tanah Jawa sebelah timur. Tapi
tokoh dari golongan hitam itu akhirnya tumbang di
ujung tongkat si Gila Tuak. Sedangkan Malaikat Tanpa
Nyawa itu adalah Ketua Rampok Wetan, di mana dulu
Kombang Hitam pernah menjadi anak buahnya.
Namun kehadiran si Gila Tuak tidak terlalu
membuat Bidadari Jalang terheran-heran seperti
Kombang Hitam. Bidadari Jalang hanya tersenyum sinis
dan berkata, "Kali ini kau muncul lagi, Gila Tuak! Dan
kali ini kau mencampuri urusanku lagi."
"Nyai Nawang Tresni," panggil si Gila Tuak
menyebut nama asli Bidadari Jalang, "Jangan sangka
hanya kamu yang membutuhkan anak ini, tapi aku pun
membutuhkannya."
"O, begitu?" kata Nyai Nawang Tresni alias Bidadari
Jalang, ia cukup tenang dan kalem. Kombang Hitam
semakin waswas. Ketika si Gila Tuak berkata, "Rupanya
kau punya murid baru, ya?" sambil melirik Kombang
Hitam, lelaki yang dilirik itu menjadi semakin
berdebar-debar. Ia buru-buru menyela perkataan.
"Maaf, Gila Tuak... aku bukan murid Bidadari
Jalang. Hmm... sebenarnya anak itu adalah bagianku.
Tapi, kalau kau menghendaki, silakan ambil. Aku
mohon diri dari hadapan kalian!"
Tanpa mengulang kata-katanya lagi, Kombang
Hitam segera kabur. Melompat ke semak belukar
menghilang dengan kecepatan tinggi. Agaknya Kumbang
Hitam tak mau ambil risiko lebih parah lagi. Bertemu
dengan dua tokoh sakti itu, sama saja bertemu dengan
liang kubur. Kombang Hitam lebih memilih mengalah,
membiarkan bocah ingusan itu menjadi bahan rebutan
mereka.
Tetapi dalam hati Kombang Hitam sempat
bertanya-tanya, mengapa kedua tokoh kondang yang
banyak ditakuti lawan itu memperebutkan keturunan
Ronggo Wiseso? Apa kehebatan Suto sehingga
diperebutkan oleh kedua tokoh utama itu? Dan jika
terjadi pertarungan antara Bidadari Jalang dengan si
Gila Tuak, mana yang lebih unggul? Mampukan si Gila
Tuak menumbangkan perempuan berilmu sangat tinggi
itu, atau sebaliknya?
*
* *
5
BIDADARI Jalang, yang mempunyai nama asli Nyai
Nawang Tresni itu, hanya berdiri memandang dengan
kedua tangan terlipat di dada. Tangan itu yang
membuat dada montok Bidadari Jalang jadi tertutup. Ia
menampakkan sikap tenangnya, namun berusaha
mencari cara untuk merebut Suto dari pelukan si Gila
Tuak.
"Kali ini kau kelewatan, Gila Tuak. Kau memancing
kemarahanku dan memaksa diriku tega kepadamu."
"Jangan menabur bunga di ujung duri, taburkan
bunga di atas kain, Nawang Tresni. Jangan berpikir
kepentingan diri sendiri, pikirkan pula kepentingan
orang lain."
Sungging senyum kesinisan mekar di sudut bibir
yang menggairahkan setiap lelaki itu. Bidadari Jalang
pun berkata, "Aku tak butuh nasihatmu, Gila Tuak! Aku
hanya butuh bocah tanpa pusar itu! Serahkanlah
padaku, jangan membuat aku memaksa raga tuamu!"
"Aku juga membutuhkan bocah tanpa pusar ini,
Nawang Tresni. Sudah cukup banyak usiaku. Sudah
bosan aku hidup di bumi. Aku sudah ingin mati. Tapi
kau tahu sendiri, aku belum punya murid yang menjadi
pewaris ilmu-ilmuku. Dan hanya pada seorang murid
yang tidak mempunyai pusar, ilmu itu bisa kuturunkan.
Setelah itu baru aku akan bisa menutup mata dengan
tenang."
"Persetan dengan kepentinganmu itu!" geram
Bidadari Jalang. Kemudian kaki kanan perempuan yang
menggeram itu dihentakkan ke tanah satu kali.
Jluuk...!
Wuuss...!
Tubuh Suto mencelat ke atas, melayang ke arah
Bidadari Jalang. Bagaikan tersentak tiba-tiba dari
pelukan Gila Tuak. Tubuh itu diterima oleh satu tangan
Bidadari Jalang. Pleek...! Langsung ada dalam
gendongannya, posisinya tepat seperti anak duduk
digendongan seorang ibu.
Napas Suto terengah-engah. Ia sendiri kaget dengan
peristiwa melayangnya tubuhnya tadi. Ia menjadi
ketakutan. Pegangannya pada pundak Bidadari Jalang
diperkuat.
"Setan betina!" umpat Gila Tuak. Baru saja Gila
Tuak ingin bergerak, tiba-tiba tubuh Bidadari Jalang
telah melesat ke pucuk sebuah tanaman peredu.
Kakinya tak membuat tanaman yang dipijaknya
bergerak sedikit pun. Bahkan ketika ia melenting
tinggi, tanaman itu hanya bergerak sedikit, sebagai alas
untuk menjejakkan ujung jempol kakinya, dan tubuh
yang menggendong Suto itu sudah berada di atas
sebuah pohon berdahan kekar.
"Woaaaow...!" Suto buru-buru memejamkan
matanya setelah menyadari berada di sebuah
ketinggian dan melihat kakek berambut putih itu
menjadi kecil.
"Jangan lari, kau, Nawang!" seru si Gila Tuak.
Tubuhnya segera berkelebat bagaikan angin.
Menghilang di balik semak belukar. Bidadari Jalang pun
melompat dengan cepat bagaikan kilat, dari dahan
yang satu, pindah ke dahan yang lain. Sementara Suto
tetap diajak terbang ke sana sini tanpa tahu arah
tujuannya.
Ranting dan dahan berguncang semuanya. Sebagian
daun banyak yang rontok sebelum menua. Itu jelas
akibat gerakan bertenaga dalam tinggi dari Bidadari
Jalang. Satu pohon yang dihinggapinya, sepuluh pohon
lainnya ikut runtuh daunnya.
"Wooaaw... wooaaw...," teriak Suto ngeri-ngeri
girang.
Suara Suto bagai berkumandang ke mana-mana.
Karena kecepatan gerakan Bidadari Jalang dalam
membawanya lari membuat Suto bagai melayang
dengan suara yang tertinggal. Suara teriakan Suto
berada di pohon pertama, tapi sebenarnya ia sudah
berada di pohon ketiga. Begitulah seterusnya, dan hal
itu dimanfaatkan oleh si Gila Tuak. Ia mengejar lewat
bawah.
Gerakannya tak bisa dilihat mata. Namun sebagai
tanda daerah yang dilewatinya, daun dan kulit pohon
disekitar situ menjadi kering bagai habis terbakar.
Bahkan sebagian masih ada yang berasap dan hangat.
JaIur pelarian Gila Tuak membentuk garis hitam
berliku-liku jika diteropong dari ketinggian tertentu.
Pelarian Bidadari Jalang tiba di puncak bukit
berbatu-batu hitam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar