Senin, 17 Oktober 2011

"Iya. Aku juga khawatir begitu. Jelas tokoh itu
sangat sakti. Setidaknya punya tenaga dalam yang jauh
lebih sempurna dari yang dimiliki sang ketua."
"Apakah... apakah sebaiknya kita pergi saja secara
diam-diam?"
"Pergi? Oh, sepertinya itu gagasan yang bagus. Ayo,
lekas tinggalkan hutan ini. Aku yakin, iblis penunggu
hutan ini sedang mengincar sang ketua. Kalau kita
mencampuri urusan mereka, jelas tidak seimbang. Kita
bisa mati konyol!",
"Aku tidak mau, ah! Mati konyol jarang mendapat
sumbangan dari teman. Ayo, pergi pelan-pelan...!"
Kedua anak buah Kombang Hitam berhasil menuruni
bukit itu. Mereka berlari dari pelan menjadi cepat.
Sampai tiba di sebuah tempat, tak jauh dari ladang
jagung, mereka terhenti di sana. Seseorang yang
menghentikan langkah temannya.
"Lihat di sebelah timur itu...!" katanya dengan nada
kagum. Temannya memandang menurut arah telunjuk.
Dan ternyata mereka melihat sesosok tubuh berdiri di
atas sebuah tonjolan batu besar. Tubuh itu bagai
berada di tempat terang, tanpa dedaunan penghalang,
sehingga bisa dilihat dengan jelas dari tempat kedua
anak buah Kombang Hitam itu.
"Menurutmu dia perempuan atau lelaki?"
"Sepertinya seorang lelaki berambut panjang
meriap. Berdirinya begitu tegar."
Orang yang berdiri di batu itu mengenakan jubah
ungu. Kain jubahnya melambai-lambai bagaikan menari
karena hembusan angin. Salah satu anak buah Kombang
Hitam berkata, "Dia pasti bukan orang sembarangan,
terlihat dari dandanannya yang ketat namun tegas.
Warna pakaiannya merah, berselubung jubah ungu. Ini
menandakan keberaniannya dalam menentang bahaya
apa pun juga."
"Siapa dia? Apakah dia yang menyelamatkan bocah
itu? Yang mematahkan senjata kita memakai batu
kerikil?"
"Melihat letaknya yang jauh sekali dari tempat kita
tadi, rasa-rasanya tak mungkin orang berjubah ungu itu
mematahkan senjata kita. Terlalu jauh jaraknya untuk
sebuah pukulan jarak jauh. Seperti ada di seberang
jurang lebar itu, kan?"
"Memang. Tapi dia berdiri menghadap ke tempat
kita berada tadi. Jangan-jangan dia sedang
memperhatikan sang ketua kita?"
"Apa iya begitu, ya...?!" gumam yang satunya
bingung sendiri.
"Sudah, sudah... kita jangan terlalu lama berhenti
di sini. Ayo, lekas pergi sebelum sang ketua mengetahui
kita lari!"
Mereka kembali bergegas pergi. Namun baru tiga
langkah, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan
kemunculan seseorang dari dalam ladang jagung itu.
Orang tersebut berada di arah samping mereka,
jaraknya antara enam tombak. Orang itu memandang
sebentar ke arah mereka, lalu meneruskan langkahnya
mendaki tanah perbukitan. Kedua anak buah Kombang
Hitam tertegun bengong, kemudian saling pandang.
"Siapa orang itu?"
"Entah. Dia acuh tak acuh pada kita."
"Memang dia tidak mempedulikan kita. Tapi
tidakkah kau sadari pakaiannya?"
"O, iya...?!" orang itu terkejut. "Dia memakai
pakaian serba merah dan berjubah ungu. Rambutnya
panjang meriap. Dan ia seorang perempuan cantik.
Apakah dia orang yang ada di atas...."
Kata-kata itu tidak berlanjut. Mata kedua anak
buah Kombang Hitam terbelalak ketika melihat tempat
batu menonjol berukuran besar itu telah kosong. Tadi,
belum lebih dari lima helaan napas, mereka melihat
seseorang berdiri jauh sekali. Dengan pakaian dan ciriciri
sama dengan orang yang baru saja muncul dari
ladang jagung dan melewatinya dengan acuh tak acuh.
"Apakah orang yang baru saja lewat itu adalah
orang yang ada di atas batu sana?"
"Aneh. Kalau benar orang itu adalah orang yang ada
di seberang jurang tadi, lantas kapan dia datang
kemari? Jarak dari sini ke batu itu membutuhkan waktu
cukup lama. Kenapa dia tahu-tahu muncul di ladang
jagung dan...," orang itu menengok ke belakang.
Ternyata perempuan cantik yang berjubah ungu itu
sudah tidak kelihatan lagi.
"Edan! Dia sudah tidak kelihatan. Ke mana
perginya. Mestinya ia masih bisa kita lihat sedang
berjalan mendaki?"
"Ayo, ayo... sepertinya ada yang tidak beres di sini!
Lekas tinggalkan tempat ini sebelum kita jadi sasaran!"
Mereka berlari menerabas pepohonan jagung.
Mereka tampak tergesa-gesa dalam langkahnya yang
merunduk. Namun, tiba-tiba langkah mereka kembali
terhenti. Orang yang berjalan paling depan terkejut
dan berhenti seketika, sehingga yang belakang
menabraknya dalam satu sentakan yang membuat
mereka nyaris jatuh bersama. Mereka terhenti karena
di depan mereka berdiri sepasang kaki tegar beralaskan
kulit tebal yang diikat sampai betis.
Kaki itu ternyata milik seorang kakek tua yang
mengenakan pakaian serba hijau dengan jubahnya
berwarna kuning. Kakek itu terkekeh-kekeh.
Rambutnya yang putih sepanjang pundak diikat
memakai kain hitam. Ia menggenggam tongkat yang
tingginya seukuran dada orang dewasa. Tongkat itu
menancap di samping kaki kanannya, tergenggam erat
oleh tangan kanannya. Tangan itu berurat-urat,
bertonjolan, menampakkan kulitnya yang telah menipis
dan berkeriput. Kumis dan jenggotnya pun memutih
tanpa hitam selembar pun. Jelas kakek itu sudah
berusia lewat dari sembilan puluh tahun.
"Mengapa kalian ketakutan?"
"Hmmm... anu... ehh...," kedua anak buah
Kombang Hitam tidak ada yang bisa menjawab, karena
gugup dan bingungnya. Kakek itu semakin terkekehkekeh
melihat raut wajah yang salah tingkah.
"Kalian tak pantas jadi prajurit, karena mempunyai
jiwa pengecut dan pengkhianat. Pasti lari dari tugas!"
"Ka... kami... kami takut, Kek."
"Takut melihat golok kalian patah sendiri?"
"Hah...?!" Kedua anak buah Kombang Hitam saling
menebarkan mata dan saling pandang dalam keheranan
yang kuat. Kemudian mereka menatap kakek putih
tebal itu. Sang kakek semakin terkekeh-kekeh.
Kemudian berkata, "Terserah. Itu urusan jiwa kalian,
baiknya segeralah menepi, dan biarkan aku lewat."
Kedua lelaki bertampang licik itu menyingkir
dengan perasaan takut. Kakek berjubah kuning
melangkah melintasi mereka. Tiba-tiba tubuh mereka
rubuh membuat batang-batang pohon jagung rusak
ditimpa tubuh mereka berdua.
"Kenapa kamu mendorongku?!" sentak yang
belakang.
"Mendorong bagaimana?! Tubuhku sendiri ada yang
mendorongnya dengan kuat sekali!"
"O, kalau begitu... angin dari kibasan jubah kakek
itu telah mengeluarkan suatu tenaga yang mampu
mendorong tubuhmu."
"Masa sekeras itu? Seperti didorong seekor kerbau
rasanya."
"Wah, wah, wah...," yang satu geleng-geleng
kepala. "Pasti kakek itu punya kekuatan tenaga dalam
yang cukup sempurna. Bahkan menurutku sangat tinggi
sekali!"
"Mungkin saja. Sebab hanya terkena angin kibasan
jubahnya yang pelan saja aku bisa tumbang tak mampu
berdiri."
"Untung kita tidak meremehkan dia dan tidak
bertindak kurang sopan padanya."
"Hei, kau ingat kalimatnya tadi? Kurasa dialah
orangnya yang membuat senjata kita patah."
"O, iya! Dia tadi menyebutkannya. Kalau begitu,
pasti dialah yang telah melemparkan batu kerikil dan
mengenai kedua golok kita. Tapi... dari mana dia
melemparkannya? Saat ini malah kelihatannya dia
sedang menuju ke arah tempat kita tadi bersama sang
ketua. Iya, kan?"
"Iya, ya...," gumam yang satunya. "Dari mana dia
bisa tahu kalau kita habis kehilangan senjata karena
patah, jika memang bukan dia pelakunya?"
"Hmmm... sudahlah. Lupakan tentang itu. Ayo, kita
teruskan pelarian kita. Peduli amat penilaian kakek
tadi terhadap jiwa kita. Mau dibilang pengecut atau
pengkhianat, biar sajalah...!"
Baru saja mereka mau melangkah, salah seorang
menahan tangan temannya sambil berkata dengan nada
tegang.
"Tunggu, coba perhatikan, apa yang berasap itu?"
Mereka memandang ke tanah ladang.
"Astaga! Bekas telapak kaki kakek itu berasap!"
kata yang satunya dengan kagum sekali.
Benar," gumam yang lain. "Bekas telapak kaki itu
sangat dalam dan mengeluarkan asap. Bahkan, lihat...!
bekas tongkatnya pun tampak dalam dan berasap juga.
Ck, ck, ck...l" orang itu geleng-geleng kepala.
"Luar biasa sekali kekuatan tenaga dalamnya. Aku
jadi kepingin menjadi muridnya."
"Aku juga. Tapi, nah... lihatlah lagi, jagung di
dekat telapak kaki itu sepertinya juga berasap."
Temannya memandang dengan dahi semakin
berkerut. Kemudian ia memetik jagung muda itu dan
membuka kulitnya. Mata mereka semakin terbelalak.
"Ya, ampuun... jagung ini menjadi matang. Seperti
jagung yang baru saja dibakar!"
"Luar biasa! Hangatnya terasa di kulit tangan. Coba
kau makan jagung itu sebiji. Apa benar-benar matang?!
Kemudian orang yang disuruh mencoba itu benarbenar
memetik satu butir dari rentetannya. Butir
jagung itu dimakan. Ia mengunyah-ngunyahnya
sebentar. Ia menggumam dalam kunyahannya.
"Rasanya pahit-pahit getir dan... dan.... Aduh,
kepalaku jadi menggeliyang begini?"
Ia limbung sedikit. Berusaha berpegangan pundak
temannya. Temannya menjadi heran bercampur
tegang.
"Hai, kenapa kau? Kenapa?"
Tiba-tiba orang yang mencicipi jagung matang itu
terbungkuk dan memuntahkan sesuatu, "Hoooeeek...!"
Mata temannya semakin bundar melebar. Ia
melihat seluruh makanan dimuntahkan dari mulut sang
teman. Cukup banyak orang itu muntah-muntah isi
perutnya. Wajahnya menjadi pucat pasi dan melemas.
Tentu saja sebagai teman ia kebingungan dan segera
memapah pergi, ia menyeret kaki temannya yang lemas
sambil sedikit berlari. Tapi tubuh temannya menjadi
dingin dan kian dingin.
"Jagung itu masih mempunyai kekuatan tenaga
dalam. Untung kau baru memakannya satu butir. Coba
kalau kau makan semua, kau pasti tidak akan tertolong
lagi. Benar-benar gila ilmu yaang dimiliki kakek
berjubah kuning itu. Bertahanlah. Bertahan sebentar,
nanti kumintakan obat pada Sugolo. Dia bisa
menawarkan racun dan sudah mulai menguasai
pengobatan penyakit dalam. Kau masih kuat untuk
bertahan, kan? Masih kuat...? Hei, kau masih kuat...?"
"Masih," jawabnya lemas. Tubuh itu semakin dingin.
Semakin pasrah diseret. Dan setelah diperiksa
sebentar, ternyata tubuh itu sudah bercucur keringat.
Agaknya orang itu mabuk berat sehingga saat diajak
bicara tentang Sugolo tadi, mungkin ia tidak
mendengarkan.
"Makanya jadi orang jangan rakus, ada makanan
sedikit langsung dicaplok saja," gerutu temannya. Ia
kembali menatap ke belakang sebentar sambil
istirahat.
"Siapa kau sebenarnya, Kakek? Begitu hebat kau
punya ilmu, sampai aku jadi ingin tahu, apa yang kau
lakukan di sana? Mampukah kau menghadapi sang
ketua, jika kau inginkan bocah itu? Dan mungkinkah kau
akan bertemu dengan perempuan cantik berjubah ungu
itu? Mungkin kau kalah sakti dengannya, Kakek tua.
Tapi mungkin kau mampu ditundukkan dengan melihat
kecantikannya. Hmm... siapa perempuan cantik
berjubah ungu itu? Apakah... apakah sebaiknya aku
kembali ke sana untuk mengintai apa yang mereka
lakukan terhadap bocah itu?!"
*
* *
4
KOMBANG Hitam semakin jengkel setelah
memanggil anak buahnya tiga kali, tapi tidak ada
jawaban. Cemas juga hatinya. Ia menyangka anak
buahnya telah mati oleh serangan tenaga dalam yang
tersembunyi.
"Rupanya aku perlu unjuk diri biar orang itu tahu
siapa aku!" gumam Kombang Hitam.
Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat. Ia
memusatkan tenaganya di tangan kiri itu. Tangan yang
menggenggam itu ditekuk naik sampai di batas dada.
Lalu, dengan kaki sedikit merendah tangan itu
dihentakkan membuka ke arah depan. Huup...!
Dueerr...!
Sebuah ledakan terjadi. Tangan itu mengeluarkan
cahaya biru kehijauan. Cahaya tersebut meluncur cepat
dan menghantam sebuah pohon besar. Pohon tersebut
meledak, akarnya terangkat naik. Tumbang dalam
keadaan hangus. Napas Kombang Hitam pun ditarik
panjang. Ditahan dalam dadanya. Kemudian
dihembuskan pelan-pelan melalui mulutnya yang
sedikit ternganga.
Waktu itu, bocah berkulit sawo matang itu
menutup kedua telinganya sambil merendahkan badan.
Ia sangat ketakutan mendengar suara ledakan begitu
kerasnya, ia merasa ngeri melihat pohon sebesar gajah
tumbang bersama akar-akarnya. Kakinya gemetaran
bagai tak mampu dipakai berdiri lagi. Namun matanya
masih mencuri pandang ke arah Kombang Hitam,
karena hatinya ingin tahu apa lagi yang dilakukan orang
berwajah sangar itu.
Dueer...! Dueer...!
Dua pohon besar berjarak jauh kembali tumbang
oleh sentakan tenaga dalam Kombang Hitam. Matanya
tetap memandang liar pada keadaan sekeliling. Karena
hal itu ia lakukan dengan harapan orang yang
bersembunyi segera menampakkan diri. Tetapi yang
ada hanya sepi tanpa bunyi. Bau hangus tercium. Itulah
bau pohon yang terbakar karena sinar biru kehijauan
dari telapak tangan Kombang Hitam.
"Keluar kau, pengecut!" bentak Kombang Hitam.
Suto pelan-pelan berdiri. Mulai melangkah mendekati
Kombang Hitam dengan penuh perasaan takut. Memelas
wajahnya.
"Hei, kenapa kau mendekat? Kenapa berdiri dari
jongkokmu?"
"Bukankah kau menyuruhku keluar?"
"Bukan kamu, Bodoh! Orang yang bersembunyi
entah di mana, itu yang kusuruh keluar dari
persembunyiannya!"
Suto tersenyum sinis bernada mengejek.
"Tetaplah di tempatmu! Kau akan kubunuh setelah
penyerang gelap itu kubereskan!"
"Coba saja!" jawab Suto dengan makin
menjengkelkan. Ia kembali ke tempatnya dan
berjongkok sambil siap-siap memegangi kedua
telinganya, menutup dengan kedua telapak tangannya.
"Anak bodoh!" geram Kombang Hitam lagi sambil
mendengus kesal. "Belum-belum sudah tutup telinga!"
Rupanya Kombang Hitam sengaja membiarkan
suasana hening beberapa jurus. Ia menunggu
kemunculan penyerang tersembunyi. Ia memandangi
kudanya yang sekarat. Mati tidak, namun tak punya
kemampuan untuk berdiri lagi. Semakin jengkel hati
Kombang Hitam jika melihat keadaan kudanya yang
menderita.
"Tak seberapa tinggi sebenarnya ilmu orang yang
bersembunyi itu," pikirnya. "Sayang aku tidak bisa
mengetahui di mana dia bersembunyinya." Matanya pun
segera memeriksa ke atas, siapa tahu penyerang
geIapnya itu ada di atas pohon. Ternyata tidak ada apaapa
di sana. Penasaran sekali hati Kombang Hitam
jadinya.
Setelah Iama dirasakan keadaan sepi dan aman,
maka Kombang Hitam pun segera mendekati Suto.
Pandangan matanya penuh selera untuk membunuh sisa
keturunan Ronggo Wiseso itu. Suto menjadi sedikit
ngeri, memandang dengan penuh perasaan waswas.
Jongkoknya pun bergeser sedikit demi sedikit.
Wusss...!
Angin berhembus begitu cepatnya. Kombang Hitam
terkesiap sebentar. Pandangan matanya terarah ke
kanan bagai mengikuti kelebatan angin yang baru saja
melintas di depannya. Ketika pandangan matanya
kembali ke arah Suto, mata itu pun terbelalak lebar.
Napasnya bagai tersentak berhenti.
Bocah telanjang dada itu sudah tidak ada. Lenyap.
Karuan saja Kombang Hitam menggeram penuh
kemarahan. Matanya menjadi liar memandang
sekeliling.
"Babi buntung! Siapa yang berani mengganggu
sasaranku itu!" geramnya dengan langkah mundur
berkeliling, matanya mencari-cari seseorang yang
diduganya telah melenyapkan Suto. Sikapnya telah
menandakan siap bertarung dengan makhluk jenis apa
pun. Tangan keduanya selalu mengencang walau tidak
mengepak kuat. Urat-uratnya menegang. Setiap
langkah kakinya membentuk kuda-kuda yang tak mudah
dirobohkan sewaktu-waktu.
"Hi, hi, hi...!"
Terdengar suara tawa mengikik bagai suara peri.
Suara itu datangnya dari salah satu dahan pohon. Maka
segeralah kepala Kombang Hitam mendongak ke atas.
"Jabang bayi...!" gumamnya penuh geram. Ia
menatap tak berkedip. Ia tak menyangka di atas sana
ada seorang perempuan berambut panjang terurai.
Wajah nya cantik dengan potongan tubuh yang
membuat mata lelaki sukar berkedip. Perempuan itu
mengenakan pakaian serba merah dengan jubah ungu
muda. Ia menggendong Suto yang rupanya dalam
keadaan pingsan karena pengaruh totokan jalan
darahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar