Senin, 17 Oktober 2011


Serial : Pendekar Mabuk 01

Bocah Tanpa Pusar
E-book : paulustjing




1
PARA penduduk mulai cemas mendengar suara gemuruh di kejauhan. Mereka segera keluar dari rumah masing-masing dan memandang puncak gunung. Jauh di sana bertengger puncak gunung tinggi yang dinamakan mereka Gunung Cadas Geni. Warnanya putih keabuabuan.
Biasanya puncak gunung itu tampak jelas dari Desa Kilangan. Sekarang tampak buram. Ada kabut hitam menutupinya dan langit di atas puncak berwarna gelap.
Ada api menyembur dari dalam puncak, dan suara gemuruh terdengar lagi.
"Celaka! Kita akan dilanda musibah," ujar lelaki setengah umur.
"Kita harus cepat mengungsi. Sebentar lagi desa kita akan disapu lahar panas. Gunung Cadas Geni mau meletus! Cepat!" teriak tetangganya.
"Apa?! Gunung meletus? Siapa suruh?" tanya istrinya.
"Mana aku tahu?! Aku tidak pernah menyuruhnya!
Cepat kemasi barang. Jangan banyak tanya!"
"ly... iya.... Baik. Baik...!" sang istri gugup. Barang dikemasi. Apa yang bisa dibawa, dibawanya. Yang tidak bisa dibawa berusaha dibawanya pula.
"Kumpulkan anak kita!"
"Ada berapa ya?" gumam sang istri dengan linglung.
Mungkin karena panik. Sebab di luar rumah orang-orang juga panik. Mereka saling teriak.
"Cepat mengungsi! Cepat pindah...! Gunung itu akan meletus! Cepat cari tempat yang aman! Hoi, hoi..., jangan bengong saja kamu! Cepat pergi dari sini!"
Ada juga suara lain yang berseru, "Baju hitamku ke mana, Mak?!"
"Jangan urusi baju hitam, Tong! Cepat bantu Emak kemasi barang!"
"Barangku ada di mana, Mak?!"
"Husy! Jangan pikir barangmu sendiri. Urus juga barangnya Emak itu, Tong!"
"Barang Emak kan sudah diurus Bapak!"
Suara kentongan berbunyi. Waktu itu, bunyi gemuruh terdengar yang ketiga kalinya. Tanah berguncang makin jelas. Gayung di cantelan sempat jatuh. Daun pohon rontok sebagian. Genteng di pojokan rumah melorot tiga. Jatuh. Mengenai kepala anak kecil.
Anak itu menangis keras-keras. Bapaknya keluar dengan berang melihat kepala anaknya bocor dan berdarah.
"Kurang ajar! Siapa yang melempar kepala anakku sampai bocor begini, hah?! Mau mengungsi malah bikin perkara saja!"
Para penduduk menghambur keluar dari rumah.
Barang-barang dirakit. Siap dibawa pergi. Gulungan tikar, kendil, anak kambing, diikat dijadikan satu.
Gayung sumur, ember timbaan, nasi jagung, singkong rebus, dibungkus dijadikan satu. Kepanikan demi kepanikan berlangsung. Mereka bersimpang siur. Ada yang saling tabrak dan saling caci sendiri.
Ada yang berteriak-teriak memanggil istrinya, takut ketinggalan. Ada yang berteriak-teriak mencari anaknya, takut hilang. Ada yang berteriak-teriak menarik anjingnya, takut disembelih orang. Ada yang berteriak-teriak memanggil neneknya, takut tertukar kambing bandot.
Gaduh dan riuh desa itu. Tapi toh masih ada yang tidak menghiraukan suasana. Seorang bocah duduk di atas punggung kuda. Ia sedang belajar menunggang kuda. Bocah itu tertawa-tawa. Seorang lelaki gemuk yang dipanggilnya Paman Dubang berlari-lari di samping kuda merah kecoklatan.
"Jangan kencang-kencang menarik talinya, Suto!"
seru Paman Dubang kepada anak di atas kuda. Ia tampak cemas. Takut jadi terbalik, kuda di atas anak itu.
"Paman...! Bagaimana cara menghentikannya!"
"Kencangkan talinya!" sambil si paman masih berlari-lari di samping kuda. "Lekas kencangkan talinya!"
"Baik, baik...! Baik, Paman!" Anak itu agak cemas, Ia buru-buru mengencangkan tali celananya. Paman Dubang membentak, "Bukan tali celanamu, Suto! Tapi
tali kekang kuda. Tarik ke belakang supaya berhenti!"
"O, baik. Baik...!" . Tali kekang kuda ditarik. Kuda meringkik. Kaki depannya naik. Bukan karena tarikan
tali kekang, tapi karena suara gemuruh dan guncangan tanah tadi. Rupanya kuda juga takut dengan tandatanda gunung akan meletus.
"Paman! Bagaimana ini?!"
"Kendorkan talinya!"
"Sudah."
"Tarik lagi jangan disentak."
Tali ditarik lagi. Tidak disentak. Tapi kuda meringkik. Kakinya naik lagi. Tinggi. Sampai bocah yang bernama Suto itu tersentak ke belakang. Bluukk...! Ia jatuh.
"Aaauuuh...!" teriaknya kesakitan. Paman Dubang segera menolongnya sambil menggerutu.
"Tadi sudah Paman pesan, jangan sampai jatuh.
Kepalamu bisa bonyok kalau begini caranya. Ayo, bangun! Lekas bangun."
"Baik, Paman!"
"Kamu harus bisa menunggang kuda. Jangan sampai kuda yang menunggang kamu!"
"Kudanya nakal, Paman! Cari kuda betina saja."
"Husy! Kamu masih kecil. Tidak boleh menunggang kuda betina. Belum akil balik kok sudah mau cari kuda betina?! Kuda jantan saja! Ayo, lekas... naik lagi ke punggung kuda."
Suto terpacu semangatnya, ia bergegas naik ke punggung kuda lagi. Paman Dubang berteriak, "Hoii...!
Jangan lewat ekornya! Lewat samping!"
"Bantu aku naik, Paman!"
Paman Dubang membantu Suto. Pantat Suto
didorong naik. Kaki anak itu melangkahi pelana. Pada saat itu, gemuruh dan guncangan tanah yang kedua terdengar oleh sang kuda. Rupanya sang kuda menjadi takut, ia kembali mengangkat kaki depannya sambil meringkik. Suto nyaris jatuh lagi.
"Paman, Paman...! Awas...!"
"Pegang tali kekangnya!" sentak Paman Dubang dengan jengkel.
Suto memegang tali kekang dengan kaki belum sempurna melangkah. Sang kuda semakin kaget dan berlari dalam sentakan awal.
"Hati-hati, Paman!" Suto segera berseru.
"Diamlah! Paman sedang kebingungan!" Rupanya Paman Dubang ikut terbawa lari. Kaki kirinya terseretseret, ia menjadi panik dan gugup. Pelana dipakai
gelantungan. Pundaknya mendorong Suto. Anak itu bisa duduk di pelana. Tapi tangan Paman Dubang tertindih pantatnya, "Jangan kau duduki tangan Paman, Suto!"
"Habis aku duduk di mana?"
"Agak maju sedikit, biar tangan Paman bebas.
Aduh, kaki Paman terseret-seret. Bagaimana ini?"
"Ya bagaimana?! Paman kan pawang kuda.
Hentikanlah, Paman!"
"Susah, Tolol!" sentak lelaki gemuk pendek itu.
Kuda tetap berlari dengan liar. Suaranya meringkik-ringkik bagaikan tawa perawan di malam pengantin.
Paman dan Suto sama-sama tegang. Sama-sama kebingungan. Akhirnya sama-sama terbawa oleh kuda ke arah kesibukan para penduduk yang siap-siap mengungsi. "Lihat, Suto...! Gara-gara kamu tak becus mengendalikan kuda, para penduduk menjadi panik begini!" kata Paman Dubang.
"Oh, maaf, Paman," bocah itu matanya jelalatan ke mana-mana. Memandang tiap orang dengan kesibukannya masing-masing.
Kuda meringkik lagi semakin keras, semakin kencang larinya. Bahkan kali ini melompat tinggi.
Seorang nenek yang bingung mencari tusuk kondenya yang jatuh di tanah, dilompati oleh kuda itu. Sang nenek terkejut dan terkesima dengan mulut melongo.
"Burung apa itu tadi?!" gumamnya dengan bingung.
Kuda disangka burung. Tapi siapa yang tahu gumaman sang nenek, kecuali nenek itu sendiri.
Paman Dubang masih terseret-seret. Kuda semakin beringas. Lari sana lari sini. Akhirnya Paman Dubang ketakutan dan berteriak keras-keras.
"Tolooong...! Tolooong...! Tolong hentikan kuda ini...!"
Tentu saja orang-orang tak menghiraukan. Tak ada yang datang menolong. Semua panik dengan upaya menyelamatkan diri sendiri-sendiri.
Di saat itulah, tak lama kemudian muncul seorang lelaki tua. Dia adalah sesepuh kampung tersebut. Dia hanya sesepuh, bukan kepala desa. Tubuhnya berdiri di sebuah tempat tinggi dan berseru.
"Tenang! Tenang! Jangan panik, Saudara-saudara!"
Suara sesepuh itu didengar oleh penduduk. Mereka mulai berhenti berlarian. Mereka berkumpul di depan sesepuh itu. Pada saat yang sama, kuda yang ditunggangi Suto dan Paman Dubang menabrak sebuah kedai yang telah kosong penghuninya. Bruss...!
Braaak...!
Semua mata jadi memandang ke arah kedai bernasib malang itu. Salah seorang ada yang berseru.
"Hoi, ada sesepuh mau bicara kok malah main kudakudaan!"
Suto meringis menahan sakit. Tubuhnya tersangkut di tiang atas kedai. Paman Dubang merintih kesakitan.
Tubuhnya jatuh di atas meja bertindih patahan tiang atap. Ia berusaha bangkit begitu melihat kaki Suto bergelantungan di atas. Kemudian ia bergegas menolong bocah itu untuk turun dari atap. Tapi Suto menolak, kakinya menjejak-jejak.
"Biar. Biar, Paman. Aku bisa turun sendiri."
Suto pun melompat turun. Huuhp...!
Braak...! ,
"Aaauh...!" teriak Paman Dubang. Suto jatuh di meja, mejanya patah dan menjatuhi kaki Paman Dubang. Tentu saja Paman Dubang menjerit. Seseorang kembali menyentak.
"Hooi...! Disuruh diam dan tenang kok malah terbahak-bahak!"
"Terbahak-bahak apanya?! Kakiku sakit!" bantah Paman Dubang. Suto hanya cekikikan geli.
Mereka segera bergabung dengan kerumunan orang
di depan sesepuh. Kemudian terdengar suara sesepuh
berkata, "Saudara-saudara, warga Desa Kilangan,
kuharap kalian tidak menjadi panik dan jangan salah
langkah. Gunung Cadas Geni itu tidak akan meletus.
Jadi kalian tidak perlu panik dan mencari tempat untuk
mengungsi. Kembalilah ke rumah kalian masing-masing.
Gunung itu tidak akan meletus!"
"Tapi kok mengeluarkan semburan api?"
"Dan juga bergemuruh, Pak Tua!"
"Betul. Sudah tiga kali kami mendengar
gemuruhnya."
"Itu sebuah pertanda akan ada bahaya di desa kita
ini. Akan ada bencana, tapi bukan bencana alam,"
jawab sesepuh desa berusaha menenangkan rakyatnya.
"Masa begitu?"
"Betul. Dari zaman buyutku hidup di tanah Desa
Kilangan ini, gunung itu tidak pernah meletus. Tapi jika
desa ini akan terserang wabah, misalnya, maka gunung
itu memberikan tanda. Menyemburkan api dan asap
hitam tiga kali, mengeluarkan bunyi gemuruh yang
mengguncangkan bumi, tiga kali."
"Ooo... jadi bukan mau meletus, ya Pak Sepuh?"
tanya seseorang.
"Tidak. Jangan takut. Cuma kalian harus waspada.
Jaga diri kalian baik-baik. Jaga keluarga kalian baikbaik.
Tetaplah bersatu dan gotong-royong jika terjadi
sesuatu secara tiba-tiba!"
Kepala mereka manggut-manggut. Mulut mereka
melongo mengeluarkan gumam. Kemudian terdengar
kasak-kusuk seperti serombongan lebah bergaung.
Mereka mulai melangkah menuju rumah mereka
masing-masing. Sedangkan Suto mendesak Paman
Dubang untuk melangkah mencari kudanya. Toh
gemuruh gunung tersebut memang berhenti. Tidak
menyemburkan asap dan api lagi. Tidak terasa ada
guncangan tanah kembali. Gunung itu tenang, hati
masyarakat desa pun jadi lapang.
Tapi beberapa saat kemudian, suara gemuruh itu
datang lagi. Orang-orang yang telah tenang menjadi
tegang kembali. Mereka keluar dari rumah saling
pandang dalam keheranan. Suara gemuruh itu disimak
baik-baik. Mata mereka menatap ke puncak gunung.
Salah seorang berseru, "Bukan suara gunung!"
"Ya, sepertinya suara gemuruh kaki kuda."
"Betul. Makin lama semakin dekat suaranya."
Seorang lelaki tua terbatuk-batuk. Lengannya
ditepuk oleh istrinya, "Jangan berisiklah...! Kita sedang
menyimak suara gemuruh itu. Kamu kok malah
bergemuruh sendiri!"
"Batuk. Aku batuk," kata suaminya yang tua.
"Iya. Batuk ya batuk. Tapi nanti saja, kalau kita
sudah yakin suara apa yang bergemuruh itu!"
Lelaki tua itu bergegas masuk ke rumah sambil
menggerutu, "Orang mau batuk kok disuruh
menunda...!"
Gemuruh itu memang kian mendekat. Kemudian
mata mereka memandang ke arah batas desa. Tampak
samar-samar sesuatu yang bergerombol bergerak maju.
Kian lama kian jelas. Mereka kian paham bahwa ada
serombongan orang berkuda mendatangi desa mereka.
Bertambah dekat bertambah jelas. Orang-orang
penunggang kuda itu memiliki wajah garang, buas,
menyeramkan dan tampak keji-keji. Jumlah mereka
ada tiga belas orang. Semua menunggang kuda. Semua
bersenjata. Sepertinya siap tempur.
Salah seorang yang menjadi ketua mereka
mengangkat tangan mengepal. Kuda-kuda itu berhenti.
Tapi kudanya sendiri keterusan. Akhirnya berhenti agak
jauh dari rombongan anak buahnya. Mata orang itu
menatap liar di sekelilingnya. Kudanya bergerak pelan
mendekati rombongan. Sambil begitu, orang tersebut
berseru kepada penduduk yang melongok dari pintu
rumah, atau yang tersembunyi mengintip dari celah
dinding papan, atau yang bersembunyi di balik batang
pohon, termasuk kepada anak kecil yang bersembunyi
di balik sarung bapaknya.
"Mana Ronggo Wiseso...?!" teriak orang berbadan
kekar dengan dada bidang berbulu. Kumisnya tebal
melintang dan kelopak matanya berbelok bagai burung
hantu.
"Tunjukkan, mana rumah Ronggo Wiseso!" seru
orang yang berpakaian serba hitam itu. Ia menyandang
pedang di punggungnya. Pedang besar, sebanding
dengan ukuran lengannya yang besar pula.
Karena tak ada penduduk yang berani buka mulut,
selain buka baju karena kegerahan, maka orang
tersebut segera turun dari kudanya. Berjalan dengan
mata liar. Menggetarkan hati tiap manusia yang
memandangnya.
Seorang pemuda bertubuh kurus yang bersembunyi
di kolong bangku kedai yang rusak ditabrak kudanya
Suto itu, segera ditarik keluar. Dijambak rambutnya,
ditengadahkan kepalanya. Lalu, pedangnya dihunus,
dan ditempelkan di leher anak muda kurus itu.
"Mana rumah Ronggo Wiseso! Cepat tunjukkan, atau
kugorok batang lehermu! Lekas...!" bentaknya bagai tak
sabar.
"Ad... ada... ada di pojok desa, sebelah barat,
Paman!"
"Biadab! Berani kau memanggil Kombang Hitam
dengan sebutan Paman, hah?! Panggil aku Tuan!"
"Ba... baik.., baik, Tuan!"
"Nah, begitu!" lalu ia menggerutu, "Ketua Begal
Utara kok dipanggil Paman! Memalukan!" Ia kembali
bertanya meyakinkan.
"Jadi benar, rumah Ronggo Wiseso ada di pojok
sana?!"
"Benar, Tuan Kombang Hitam."
"Bagus. Terima kasih," katanya sambil melepas
rambut pemuda kurus itu. Pedang pun kembali
dimasukkan dalam sarungnya. Ia melangkah setelah
bersalaman dengan pemuda kurus itu sambil
mengucapkan kata terima kasih lagi.
"Serang rumah itu!" teriak Kombang Hitam kepada
anak buahnya. "Bantai semua penghuninya! Jangan ada
yang tersisa!"
Kemudian rombongan itu pun menuju ke rumah
pojok desa. Deru kaki kuda bergemuruh, menerbangkan
jutaan debu menyirat ke mana-mana. Kombang Hitam
sendiri memacu kudanya lebih cepat dan selalu berada
di depan rombongan.
'' "Untung kamu selamat, Nang...!" kata seorang
perempuan paro baya kepada pemuda kurus tadi.
Rupanya pemuda itu anak perempuan tersebut.
"Mak... aku... lemas... aku...."
"Lho, lho... Nang? Lho, kenapa wajahmu pucat?
Lho... Nang? Kok wajahmu membiru?! Nang...?
Anakku...?!"
"Mak...!" suaranya pelan sekali. Matanya meredup.
Ia pun terkulai jatuh dalam pelukan emaknya. Emaknya
tak kuat, akhirnya jatuh ke tanah secara bersamaan.
Brukkkk...!
"Anakku! Naang...!" teriak perempuan itu histeris
setelah ia tahu anaknya sudah tidak bernapas lagi.
Pemuda itu mati dalam keadaan sekujur tubuhnya
menjadi biru kehitaman.
"Dia keracunan makanan!" seru seseorang yang
mangerumun.
"Bukan keracunan makanan. Pasti gara-gara
salaman sama Kombang Hitam itu!"
"Benar! Pasti waktu salaman, Ketua Begal Utara itu
menyalurkan tenaga dalamnya yang amat beracun dan
berbahaya!"
"Edan! Jahat sekali orang itu."
"Gawat. Pasti keluarga Ronggo Wiseso tak mampu
melawannya!"
"Apa benar begitu? Ronggo Wiseso kan pejabat
kadipaten?!"
*
* *
2
RONGGO Wiseso memang pejabat istana kadipaten.
Dia menjadi penasihat sang adipati untuk urusan
hukum. Setiap ada perkara, Ronggo Wiseso yang
menyelesaikan secara hukum dan peraturan yang
berlaku, lalu sang adipati yang memutuskan ketetapan
hukuman terakhir. Tapi karena waktu itu Ronggo
Wiseso sering sakit-sakitan, maka ia diizinkan untuk
beristirahat. Untuk itu diangkatlah seorang penasihat
hukum yang bisa menggantikan Ronggo Wiseso. Tetapi
penasihat baru itu kurang begitu piawai dalam masalah
hukum kadipaten, sehingga masih sering minta
pendapat Ronggo Wiseso. Pihak kadipaten sendiri masih
menganggap Ronggo Wiseso sebagai orangnya dan tetap
menerima upah perbulannya.
Usia orang itu antara enam puluh tahun. Tubuhnya
kurus dengan tulang-tulang wajah yang keras, sedikit
menonjol. Ia terkejut ketika pintu gerbang rumahnya
diterjang kuda. Suaranya bergemuruh mengagetkan
seekor ayam yang sedang bertelur di belakang rumah.
Serombongan orang berkuda itu segera mengepung
rumah tersebut sampai di bagian belakang.
Bergegas lelaki kurus karena penyakit batukbatuknya
itu menuju serambi depan. Dan ia berpapasan
dengan Kepala Begal Utara yang tampak menggeram.
Kakinya berdiri tegak merenggang dengan mata
menatap buas. Ronggo Wiseso berkerut kening merasa
heran.
"Siapa kau?"
"Ronggo Wiseso, kau tentu ingat Mandra Dayu yang
atas usulmu dijatuhi hukuman mati oleh sang Adipati,
bukan?"
"Mandra Dayu...?!" gumam Ronggo Wiseso. Ia
berpikir sejenak. "O, ya. Benar. Rasanya memang layak
Mandra Dayu menerima hukuman mati, karena ia nyaris
membunuh sang Adipati. Kenapa?"
"Aku adalah kakak Mandra Dayu. Aku menuntut atas
kematian adikku itu, Ronggo Wiseso! Satu-satunya
saudaraku telah kau lenyapkan dengan keputusan
hukummu yang tidak adil itu, maka sebagai gantinya,
keluargamu harus kulenyapkan pula, supaya kau bisa
merasakan bagaimana hidup tanpa sanak keluarga!"
"Tunggu dulu...!"
Kombang Hitam sudah tak sabar. Ia berseru, "Anakanak,
bantai habis mereka!"
"Hiaaat...!" teriak mereka bersamaan. Dua belas
anak buah Kombang Hitam mengamuk. Tak ada
tetangga yang bisa menolong, tak ada dari mereka yang
berani mendekat. Jerit dan teriakan bagai suasana di
alam neraka.
Pada waktu itu, Paman Dubang dan Suto sudah
berhasil menemukan kudanya. Kuda itu menjadi jinak
kembali. Suto duduk di atas punggung kuda, sementara
Paman Dubang menuntun, dengan memegangi tali
kekang kuda itu. Kuda itu bukan berlari, namun
berjalan dengan santainya. Suto yang masih berusia
delapan tahun itu tersenyum-senyum. Merasa tenang
dan nyaman duduk di punggung kuda, karena ada yang
menjaganya. Kuda pun tidak bisa menjadi liar,
melainkan patuh dan menurut dengan bimbingan
Paman Dubang.
"Enak sekali kalau begini, Paman. Aku pantas
menjadi pendekar sakti berkuda, ya?"
"Iya. Tapi mana ada pendekar naik kuda kok
dituntun? Seharusnya seorang pendekar itu bisa naik
kuda sendiri."
"Kalau begitu, lepaskan saja, biar aku menunggang
kuda sendiri."
"Kalau kudanya lepas lagi bagaimana?"
"Ya dikejar. Sambil diancam seperti tadi, Paman!"
"Huuh... kuda kok diancam terus, lama-lama dia
bosan jadi kuda," Paman Dubang bersungut-sungut.
Tiba-tiba tiga orang penduduk yang dikenal Paman
Dubang itu menghadang di depan mereka. Wajah ketiga
orang itu menegang dan napas mereka tampak tak
teratur.
"Dubang, sebaiknya kau bawa si Suto pergi jauhjauh.
Jangan pulang ke rumah!" kata salah seorang.
"Habis mau pulang ke mana kalau tidak ke rumah?"
"Ke penginapan saja!" kata yang satunya lagi.
"Di sini mana ada penginapan?!" sentak Dubang.
"Memangnya kenapa aku tidak boleh pulang, Kang?"
tanya Suto yang merasa heran mendengar larangan itu.
"Keluargamu sedang dibantai habis oleh Begal
Utara!"
"Apa...?!" Dubang memekik kaget. Suto segera
turun dari punggung kuda dengan merosot dan jatuh
sebentar. Ia mendekati salah satu dari ketiga tetangga
dan bertanya, "Apa yang terjadi di rumahku, Kang?"
"Keluargamu... keluargamu dibantai oleh Kombang
Hitam, kepala rombongan Begal Utara! Kakak-kakak
perempuanmu diperkosa mereka, lalu dibunuh.
Termasuk kedua pembantu perempuanmu, juga
diperkosa dan dibunuh, dan...."
"Tunggu," kata Suto dengan bingung, lalu ia
bertanya kepada Paman Dubang pengasuhnya itu.
"Paman, diperkosa itu diapakan, Paman?"
"Jangan bertanya begitu. Kamu masih anak-anak.
Sebaiknya...."
"Sebaiknya cepat lari. Sembunyikan anak
momonganmu itu! Lekas, Dubang! Kalau mereka
melihat Suto, pasti Suto juga akan dibunuhnya. Mereka
merencanakan menghabisi semua keluarga majikanmu
itu!"
"Aduh, aku... aku... aku bagaimana, ya? Kakiku
gemetar sekali dan, yaaah... basah juga akhirnya,"
sambil Dubang memandang celananya yang basah
bagian bawah. Itu disebabkan rasa ketakutannya begitu
besar.
"Huhh... dasar pengecut. Baru begitu saja sudah
ngompol!" gerutu tetangga yang bersarung merah.
Tiba-tiba mereka sadar, bocah kecil itu sudah tak
ada di antara mereka. Salah seorang dari mereka
berseru, "Lho, di mana Suto tadi?!"
"Ya, ampun...! Dia sudah berlari ke arah
rumahnya!"
"Celaka! Pasti dia menjadi sasaran juga. Ayo, cepat
kita kejar dia!"
Mereka berempat mengejar Suto. Tapi larinya Suto
begitu cepat sambil menyelusup di antara pinggiran
rumah penduduk, mencari jalan pintas menuju
rumahnya. Rupanya hati anak itu cemas dan tegang. Ia
mulai menahan kesedihan membayangkan apa yang
diceritakan tiga tetangga tadi. Ia penasaran, ingin
melihat kebenaran cerita itu.
Begitu tiba di depan rumahnya, di balik sebuah
pohon, Suto bersembunyi. Ia melihat rumahnya
terbakar dengan api meluap berkobar-kobar. Ia juga
melihat ayahnya yang renta itu sedang melawan dua
anak buah Kombang Hitam. Sementara Kombang Hitam
sendiri hanya terkekeh-kekeh sambil berdiri di samping
kudanya.
"Hajar terus si tua bangka itu! Hajar jangan sampai
mati!" teriak Kombang Hitam dengan memuakkan hati
siapa saja yang melihat pertarungan itu.
Ronggo Wiseso mencoba menahan serangan kedua
anak buah Kombang Hitam yang datang dari arah
kanan-kirinya. Kedua tangannya dipakai untuk
menangkis pukulan yang datang secara bersamaan.
Ketika tangan itu membuka, kaki kedua anak buah
Kombang Hitam itu menendang setengah lingkaran dan
mengenai dada Ronggo Wiseso. Buk, buk...!
"Hegh...?!" tubuh Ronggo melengkung ke belakang,
lalu terhuyung-huyung. Darah segar muncrat dari
mulutnya. Warnanya hitam kemerah-merahan.
Kedua anak buah Kombang Hitam yang melancarkan
jurus kembar itu segera menghentakkan telapak tangan
mereka, satu di dada kanan, satu lagi di dada kiri.
Bleg...! Bleg...!
"Uhggh...!" Ronggo Wiseso semakin mendelik
matanya. Telapak tangan yang datang secara serempak
itu seperti sebongkah batu besar dihantamkan di kedua
dadanya. Napas terhenti seketika itu pula. Ronggo
merasakan ada hawa panas yang membakar rongga
dadanya, bahkan seluruh isi tubuhnya bagai terbakar
api.
Namun, agaknya lelaki kurus dan berbadan sedikit
bungkuk itu masih berusaha bertahan. Ia balas
menyerang dengan sebuah sentakan kaki kanannya ke
arah perut lawan yang ada di sebelah kanan.
Plakk...! Kaki itu ditangkis oleh lawannya
menggunakan kibasan tangan. Justru Ronggo Wiseso
yang menyeringai kesakitan pada pergelangan kakinya,
terasa linu sekali akibat tangkisan tadi. Akibatnya, satu
kaki menjadi lemah. Ia jatuh terlutut. Tapi kaki kirinya
berhasil tetap berpijak pada tanah. Hanya saja,
sebelum ia melakukan sesuatu gerakan, tiba-tiba kedua
tangan lawan datang memenggal dari kanan-kiri,
tertuju pada tengkuk kepala Ronggo.
Bleg...! Bleg...!
"Uhgg...!" kepala Ronggo tersentak maju dan darah
hitam kembali menyembur keluar. Pukulan tangan
memenggal itu seperti dua batang balok yang
dihantamkan kuat-kuat di tengkuknya. Ronggo pun
jatuh tersungkur tak tahan lagi. Brukkk...! Saat itu,
Suto menjerit dari balik persembunyiannya.
"Ayaaah...!" ia berlari mendekati ayahnya yang
sekarat.
"Hai, itu pasti anak bungsu Ronggo! Tangkap dan
bunuh anak itu sekalian!" seru Kombang Hitam. Ia
menuding ke arah Suto dengan mata mendelik liar.
Mendengar seruan itu, Suto tidak merasa takut. Ia
justru mendekati ayahnya. Kedua anak buah Kombang
Hitam yang telah merubuhkan ayahnya itu menghadang
langkah Suto, maka Suto pun berbalik mengambil batu
dan melemparkan.
Plak, pletak!
Batu itu mengenai wajah dan kepala
penghadangnya.
"Wadow...!" seru mereka serempak.
Suto melarikan diri begitu melihat hidung salah
seorang yang dilempar berdarah. Kedua anak buah
Kombang Hitam pun segera mengejarnya. Anak itu
berlari mencari kesempatan untuk melempar lagi.
"Anak itu bisa jadi penyakit kalau hidup!" geram
Kombang Hitam. Maka, ia segera naik ke atas kuda dan
mengejar Suto dengan kudanya itu. Tetapi, Suto
membelok ke jalan setapak yang sempit di pinggiran
rumah seseorang. Kuda itu tidak bisa mengejar masuk
di jalanan sempit itu.
"Jahanam!" geram Kombang Hitam lagi. "Kuremuk
habis tulang-tulangnya kalau dia tertangkap!"
Kombang Hitam mengarahkan kudanya dengan
memutar jalan. Ia bermaksud menghadang jalan
tembus tempat pelarian Suto. Sedangkan kedua anak
buahnya masih tetap mengejar melalui jalan yang
diambil Suto.
Rupanya di ujung jalan tembus itu Dubang telah
menghadang. Begitu melihat Suto berlari terbirit-birit,
Dubang segera menyongsongnya. Suto baru bisa
menjerit.
"Pamaaan...!"
"Diam. Jangan bersuara!" sambil Paman Dubang
menggendong Suto dan menerabas melalui tanaman
jagung milik tetangga itu.
"Pegangan yang kuat, ya? Kita akan lari secepatnya
lewat celah-celah tanaman jagung ini!" kata Dubang
yang menggendong Suto di belakangnya. Suto pun
segera berpegangan kuat-kuat dengan kedua
tangannya. Dubang membawanya lari tungganglanggang.
Ia sempat berkata dengan nada tegang dan
tertekan.
"Jangan terlalu kuat, itu namanya mencekik leher
Paman!" Lalu ia terbatuk-batuk, karena kedua lengan
Suto begitu kencangnya memeluk leher sehingga napas
Dubang sulit dikendalikan.
"Ke mana mereka?!" teriak Kombang Hitam kepada
kedua anak buahnya. "Aku tadi melihat kelebatan anak
itu yang digendong seorang lelaki pendek dan gemuk!"
"Saya rasa, mereka masuk ke ladang jagung,
Ketua!"
"Kalau begitu, kejarlah mereka! Kenapa hanya
bengong saja?!"
Maka kedua orang tersebut segera menerabas
masuk ke ladang jagung yang rimbun, tinggi tanaman
itu sudah menyamai tinggi orang dewasa. Sedangkan
Kombang Hitam yang merasa waswas itu segera
melarikan kudanya mengikuti tepian ladang jagung. Ia
akan mencegat di ujung ladang sebelah sana.
"Wah... bajuku robek, Paman!"
"Biarkan saja!" Dubang tetap berlari sambil mencari
arah yang aman. Ia mendengar suara gemerusuk di
belakangnya, itu pertanda ada yang mengejarnya di
dalam ladang jagung itu. Karenanya, ia semakin
mempercepat larinya bagai membabi buta. Larinya
sudah tidak tentu arah lagi.
"Turunkan aku, Paman. Biar aku lari sendiri!"
"Kebetulan!" kata Dubang, segera menurunkan
Suto. Maka mereka lari berdua.
Beberapa waktu kemudian, mereka berdua berhasil
keluar dari ladang jagung. Dubang berhenti sebentar,
mengatur pernapasannya. Di depannya sebuah jalan
liar menuju kaki bukit.
"Kita akan ke mana, Paman?" tanya Suto dengan
ngos-ngosan juga.
"Ke mana sajalah. Ooh... napas Paman seperti mau
putus, Suto."
"Tapi mereka mengejar kita di belakang, Paman.
Kita tak boleh beristirahat di sini. Ayo, lari lagi,
Paman...!"
"Lari, lari...!" sentak Dubang. "Kamu enak, usia
masih muda. Aku ini yang sudah setengah umur harus
lari tanpa berhenti, mana bisa?!"
Terdengar suara kaki kuda samar-samar. Dubang
mulai cemas.
"Itu mereka, Paman. Biarlah kuhadapi mereka.
Paman selamatkan diri saja."
"Jangan berlagak jago kamu. Kamu kan masih kecil!
Ayo, lari lagi."
Mereka berlari kembali sekuat tenaga. Kali ini
mereka mendaki tanah perbukitan, melewati celahcelah
batang pohon. Menerabas semak berduri.
Kedua anak buah Kombang Hitam muncul, keluar
dari ladang jagung. Bertepatan dengan itu, Kombang
Hitam pun berpapasan dengan mereka. Ia berteriak
dengan kemarahannya.
"Kalian lagi! Huh...!"
"Mungkin mereka masih tertinggal di dalam ladang,
Ketua!"
"Setan! Kenapa masih mungkin? Harus pasti!"
Tiba-tiba mata salah satu anak buahnya itu melihat
gerakan terburu-buru di antara celah pepohonan. Ia
menuding sambil berteriak keras.
"Itu dia!"
"Hiiihk...!" kuda yang ditunggangi Kombang Hitam
meringkik dan melonjak kaget karena suara keras
tersebut.
"Kucing kurap! Jangan keras-keras. Kudaku kaget!"
"Ketua, mereka mendaki bukit. Saya lihat jelas!"
"Kejar dia! Kejaaar...!" bentak Kombang Hitam
bagaikan orang kesurupan. Dan ia sendiri segera
bergegas mengejarnya dengan tetap menunggang kuda.
Suaranya berteriak-teriak menghela kuda supaya lebih
cepat bergerak di kerimbunan semak.
Jalanan makin mendaki. Di depan ada jurang. Di
belakang ada pengejarnya. Turun sama saja bahaya.
Dua anak buah Kombang Hitam tampak berkelebat
mengejar dari arah bawah. Satu-satunya jalan adalah
tetap mendaki ke atas. Padahal kaki Dubang seperti
dibanduli beban berton-ton beratnya. Napasnya tinggal
seliter lagi. Namun, demi menyelamatkan Suto, bocah
asuhannya itu, Dubang memaksakan diri untuk lari
mendaki menjadi penunjuk jalan. Sesekali ia limbung
dan terhuyung karena lelahnya. Sesekali ia menjadi
tegak kembali jika mendengar suara ringkik kuda. Suto
memandang gemas, ingin melawan mereka tapi selalu
segera ditarik tangannya oleh Paman Dubang.
"Awas, Paman. Hati-hati... di sebelah kanan kita
jurang yang sangat dalam, Paman."
"Diam kamu! Aku tahu itu jurang!" kata Dubang
dengan hati dongkol, merasa digurui dalam keadaan
kelelahan begitu.
Tiba-tiba suara derap kaki kuda kian jelas di
belakangnya. Dubang menoleh ke belakang, ia melihat
Kombang Hitam sedang memacu kudanya untuk lebih
cepat lagi. Kaki Dubang pun kian dipercepat. Namun,
sayang sekali kaki itu menyampar akar pohon yang
melintang, sehingga Dubang pun tersungkur jatuh ke
depan. Buukk...! Suto menabraknya dan ikut terjatuh.
"Ngekk...!" Tubuhnya tertindih Suto. Ia mencoba
bangun karena Kombang Hitam berseru, "Mampus kalian
sekarang, hah...?!"
Terburu-buru Paman Dubang membuat kakinya
goyah berpijak. Ia terpeleset jatuh ke tepian jurang.
"Awas, Paman...!" teriak Suto terbawa tangan
Dubang.
Tangan kanan Dubang memegangi akar pohon untuk
menahan tubuhnya yang nyaris merosot ke jurang.
Sedangkan tangan kirinya berusaha menahan tubuh
Suto yang sudah bergeser dari punggungnya.
"Naik, Suto! Naik...! Cepat naik!"
Tangan Dubang mendorong-dorong tubuh Suto.
Bocah itu berhasil naik ke atas, berada di dekat pohon.
Tetapi, pada saat itu kuda Kombang Hitam mendekati.
Dubang berteriak,"Lari! Lekas lari, Suto...! Lari...!"
"Pamaaan...!" Suto bingung, ia ingin membantu
menolong Dubang agar bisa naik.
"Cepat lariii...!" teriak Dubang dengan gemasnya.
"Selamatkan jiwamu untuk balas dendam nanti!"
Maka. Suto pun melarikan diri menuju ke atas.
Kombang Hitam berteriak, "Mau lari ke mana kau bocah
ingusan...! Ha, ha, ha...!"
Suto tetap lari sambil memikirkan kata Dubang
tadi. Napasnya terengah-engah. Sementara itu,
Dubang, segera berusaha naik dari tepi jurang.
Susah payah ia menarik dirinya dengan
berpegangan pada akar pohon yang berjuntai mirip
rambut raksasa itu, namun tiba-tiba kedua anak buah
Kombang Hitam tiba dari pengejarannya. Mereka
menemukan Dubang dalam keadaan kritis.
"Nah, ini dia orangnya!" kata salah seorang. Yang
satu berkata pula.
"Habisi saja dia!"
Dubang cemas dan memohon, "Kang, tolong aku...!
Tolonglah. Nanti kuberi tahu sisa keluarga Ronggo
Wiseso. Tolong tarik aku ke atas, Kang...!"
"Jangan mau tertipu oleh bujukannya!" kata yang
satu. Yang satunya lagi berkata, "Tapi dia mau memberi
tahu sisa keluarga Ronggo Wiseso!"
Orang yang diajak bicara itu mendengus, lalu
mencabut goloknya. Dubang menjadi tegang. Ingin
memohon sesuatu tak sempat keluar dari mulutnya.
Orang yang memegang golok itu segera menebas ke
depan. Crasss...! Akar itu dipenggal. Putus. Dan tubuh
Dubang pun jatuh melayang ke bawah jurang dengan
jerit yang menggema mengerikan.
"Aaaa...!"
Suto berhenti dari larinya, ia mendengar jeritan
itu. Ia makin sedih karena tahu suara itu jeritan
Dubang. Ia berbalik arah ingin ke tepi jurang lagi, tapi
kuda yang ditunggangi Kombang Hitam muncul dari
semak-semak. Suto menjerit kaget, kemudian hanya
bisa berdiri dengan tubuh gemetar. Pada saat itu,
kedua anak buah Kombang Hitam pun datang dengan
napas terengah-engah. Kombang Hitam tertawa
terbahak-bahak dengan tetap di atas punggung kuda.
Kemudian, ia berseru kepada anak buahnya.
"Penggal kepala bocah itul Penggal!"
*
* *
3
JANTUNG bocah yang sudah tidak berbaju lagi itu
semakin berdebar. Rasa cemas melihat golok tajam
terhunus membuatnya ia melangkah mundur, mencari
kesempatan untuk mengambil batu buat dilemparkan.
Orang yang memegang golok tajam itu mendekat.
"Kalau berani jangan pakai golok!" ucap Suto dalam
kebingungannya. Kaki gemetar dan celana jadi melorot.
Melihat anak buahnya melakukan tugas dengan agak
ragu-ragu, Kombang Hitam berteriak dengan
membentak keras.
"Penggaaal...!"
Dan, golok berkilat itu diangkat ke atas. Dari sisi
kanan Suto, golok itu berkelebat menghantam leher
bocah telanjang dada itu.
Trangng...!
Orang yang menggenggam golok itu mendelik
melihat goloknya telah patah, hampir dekat gagang
tempat yang patah itu. Kini ia hanya memegangi
gagang golok saja. Tentunya hal itu membuat temannya
yang satunya terkejut juga, dan Kombang Hitam
terperanjat. Ia masih duduk di atas kudanya sambil
matanya melirik kanan-kiri, mencari seseorang yang
telah mematahkan golok itu dengan menggunakan
sebutir batu kecil. Batu itu jatuh di kaki kuda.
Kombang Hitam turun dari kuda. Memungut batu
kecil seukuran kacang tanah itu. Ia mengamat-amati
sambil bergumam, "Keparat! Pasti ada orang berilmu
tinggi menghalang-halangi niat kita! Batu sekecil ini
bisa dipakai mematahkan golok baja. Hmmm...! Mana
dia...?" mata Kombang Hitam kembali menatap liar ke
sekelilingnya. Namun yang ada hanya sepi dan sunyi.
Tak ada tempat yang mencurigakan.
Kecemasan Suto mereda. Matanya memandang
golok yang patah dan tak sadar masih digenggam oleh
pemiliknya. Kombang Hitam merasa semakin geram
dengan anak itu. Lalu, ia berkata kepada anak buahnya
yang masih mempunyai golok di pinggang.
"Penggal! Tunggu apa lagi. Cepat!"
Sreet...! Golok dicabut lagi. Suto kebingungan. Ia
merundukkan kepala sambil berkata, "Jangan cobacoba
menyerangku lagi!" Suto masih nekat mengancam.
Baru saja golok diangkat ke atas, belum sempat
diayunkan. Tiba-tiba terdengar suara nyaring.
Trangng...!
Kembali golok itu patah. Bahkan menjadi tiga
bagian. Padahal suara trang tadi hanya satu kali. Dan
lagi-lagi Kombang Hitam menemukan sebutir batu
sebesar kacang tanah. Hati lelaki bertubuh besar itu
menjadi semakin panas. Matanya semakin buas
memandang sekeliling.
"Benar-benar keparat!" geramnya dengan kedua
tangan menggenggam kuat-kuat. Batu kecil itu
digenggam dan hancur berubah menjadi serbuk abuabu.
Kecemasan Suto kembali mereda. Ia merasa lega,
bahwa golok yang akan memenggal lehernya itu patah
kembali. Itu berarti lehernya masih tetap utuh.
Kombang Hitam berteriak keras, "Siapa kamu, hah?!
Ada urusan apa kamu ikut campur dalam urusanku ini?!
Keluarkan batang hidungmu! Hadapi aku, Kombang
Hitam, Ketua Begal Utara! Ayo, keluar dari
persembunyianmu! Keluar...!"
Sepi. Tak ada jawaban dan suara yang
mencurigakan. Bahkan detak jantung pun tak terdengar
oleh Kombang Hitam. Biasanya ia bisa mendengar detak
jantung dari orang yang bersembunyi. Tapi kali ini,
ketika ia memejamkan matanya sesaat, ia tidak
mendengar detak jantung, selain jantung milik mereka
dan Suto.
"Aku tak mendengar ada detak jantung selain milik
kita," ia berkata kepada anak buahnya.
"Jangan-jangan anak itu punya kesaktian
tersembunyi?"
Kombang Hitam menatap Suto. Bocah yang ditatap
itu mendengus benci, dan memalingkan kepala.
Menggumam sesaat dengan mata tak berkedip.
Kemudian ia berkata kepada kedua anak buahnya itu.
"Kurasa dia anak yang polos, tanpa ilmu apa pun.
Ingat saat dia lari, dia lari sebagai bocah biasa. Tanpa
menggunakan tenaga peringan tubuh, tanpa gerakgerak
yang mencurigakan."
"Lalu, siapa yang telah mematahkan senjata kami,
Ketua?"
"Entahlah. Sebaiknya segera kalian periksa keadaan
di sekeliling tempat ini! Periksa dengan teliti, sebelum
bocah itu kupenggal sendiri dengan pedangku!"
Kombang Hitam segera maju untuk meraih Suto.
Tetapi, tiba-tiba ia melompat ke samping karena
merasakan ada hawa panas berkekuatan besar sedang
mengarah ke dadanya. Begitu ia melompat ke samping
dan berguling satu kali, kuda di belakangnya menjadi
sasaran berikutnya. Kuda itu meringkik sambil
terlempar ke belakang, membentur pohon. Jaraknya
ada sepuluh tombak dari tempat sang kuda berdiri.
Kuda itu meringkik-ringkik, tak bisa bangun lagi. Dan
hal itu membuat kedua anak buah Kombang Hitam
menjadi tertegun bengong tak berkedip.
"Iblis Laknat!" maki Kombang Hitam. Ia bergegas
bangun. Ia juga memandang kudanya yang patah pada
keempat kakinya dan kelihatan menyedihkan sekali.
Meringkik-ringkik bagai orang menderita sakit yang
amat nyeri. Sebagian kulit tubuh kuda yang putih itu
menjadi memar merah. Terutama pada bagian perut
dan kaki.
"Benar-benar ada yang ingin main-main denganku!"
geram Kombang Hitam lagi. "Lekas cari! Periksa.
Tumbangkan semua pohon di sini! Bakar semua semak
yang ada! Cepaaat...!"
Kedua anak buah itu bergegas pergi dengan
perasaan takut akan kemarahan Kombang Hitam. Suto
juga bergegas pergi. Tapi Kombang Hitam membentak.
"Hai, mau ke mana kamu, hah?"
"Membakar semak!"
"Yang kuperintahkan anak buahku. Kamu tidak ikut
kuperintahkan membakar semak! Diam di situ kalau
masih ingin selamat!"
Suto diam, memandang dengan tengil dan berlagak
tidak takut sedikit pun.
Di balik semak rimbun, kedua anak buah Suto
berkasak-kusuk.
"Mana mungkin kita bisa menumbangkan pohon?
Golok pun tak punya. Bagaimana ini?"
"Entahlah. Kita juga tidak memiliki tenaga dalam
sehebat ketua, mana bisa menumbangkan pohon
dengan tangan kosong? Membakar semak tanpa api pun
jelas tak bisa. Kita tidak bisa mengeluarkan api dari
telapak tangan kita, seperti Ketua."
"Lalu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak tahulah...," orang itu tampak bingung dan
garuk-garuk kepalanya yang dililit kain pengikat kepala.
"Nyawa kita bisa melayang kalau begini caranya.
Aku yakin, ada tokoh sakti yang bersembunyi di sini.
Entah di sebelah mana. Salah-salah, begitu kita
menemukan dia, kita mati lebih dulu."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar